Refleksi Paska Liburan di Jogja
Mari pulang. Mari lah pulang. Mari lah pulang. Bersama-sama.
Jogja 2017 - Penggalan lagu anak yang bisa jadi backsound kepulangan saya dan Ez dari Jogja. Setelah menghabiskan, katakanlah, seminggu di kota ini.
Ada banyak kenangan berkesan saat menikmati wisata di sini. Ada banyak pula yang berharap bisa dilakukan lagi. Ya, postingan ini sekedar koreksi pasca liburan dan sedikit kisah penutup seri Jogja 2017.
Satu hari dihabiskan untuk minimal dua tempat wisata (bahkan kalau bisa tiga). Akibatnya terburu-buru dan tidak menikmati penuh. Belum lagi ditambah keinginan untuk memotret dan hal-hal semacamnya. Asik dokumentasi tanpa menikmati secara utuh berada di sana. Memakai istilah saat ini, kami merasa kurang mindful saat berwisata ke Jogja kala itu.
Hanya satu tempat dari banyak destinasi wisata yang bisa dinikmati dengan baik. Sebab kami tidak terburu-buru. Tidak juga riweuh sendiri dengan dokumentasi. Tempat tersebut adalah pantai Sadranan.
Disana pertama kalinya coba snorkeling. Tidak perlu motret sebab sudah ada mas-mas yang bantu fotoin. Selain itu tidak terpikir juga buat motret sendiri soalnya lebih fokus dengan aktivitas baru ini. Keasikan snorkeling dan main di laut juga bikin kami rela jika hari itu cuma bisa ke Sadranan saja. Yaudah, gak masalah dan memang tidak masalah, wkwk.
Singkatnya jika ada kesempatan lagi liburan keluar kota, semoga bisa lebih bijak lagi, hehe. Baik saat menentukan durasi kunjungan, daftar tujuan wisata, dokumentasi, serta printilan lainnya. Berharap agar bisa lebih sadar (mindful) dalam menikmati wisata di Jogja (dan di mana pun).
Nah, pola pikir seperti itu juga yang mengiringi kunjungan ke Jogja. Sudah main jauh ke sana, yang jadi fokus adalah objek wisata alam serta wisata sejarah. Ya, gak salah sih. Cuma untuk wisata kulinernya, tidak terpikirkan.
Tidak ada daftar kuliner khusus yang mau dicoba. Pun saat di sana cuma terpikir untuk coba angkringan dan gudeg. Sebab kedua makanan itulah yang lumayan ikonik di benak. Selebihnya kami makan apa yang terlintas saja di kepala dengan menu-menu yang umum seperti nasi soto, gado-gado, lontong sayur, nasi padang (wkwk), dsb.
Makin ke sini, merasa kalau mencoba makanan "baru" seharusnya tidak boleh dilewatkan. Sama halnya dengan objek wisata, tiap daerah di Indonesia punya menu khas masing-masing yang tentu saja boleh jadi sulit ditemukan di tempat lain.
Jadi, makanan juga menjadi poin yang perlu kami koreksi. Maksudnya berharap agar pada kesempatan jalan-jalan berikutnya (entah di Jogja atau di mana saja) bisa coba banyak makanan di daerah tersebut. Mungkin tidak perlu semua, setidaknya bisa terasa memuaskan. Tidak seperti sekarang penasaran dengan rasa sate pincuk, lumpia basah, dll.
Layaknya pergi liburan, ongkos terbesar biasanya untuk transportasi dan akomodasi. Nah, salah satu biaya yang kami tekan adalah penginapan. Ditambah pemikiran kalau penginapan cuma dipakai untuk tidur alias istirahat saja. Soalnya siang hari bakal ngebolang sana sini. Dan waktu malam pun dipakai buat jalan-jalan juga.
Jadi ya begitu. Penginapan standar dengan fasilitas demikian. Tidak buruk cuma tidak juga fancy alias mewah. Cukup dengan keamanan yang baik, privacy yang oke, serta sarana yang memadai. Meski tidak sepenuhnya nyaman, haha.
Nah, saat memutuskan untuk memperpanjang liburan, barulah kami upgrade sedikit penginapannya. Semalam atau dua malam ya, saya sedikit lupa. Dari area pinggiran Bantul, kami pindah ke tengah kota (lupa nama hotelnya, yang jelas terletak di area yang memang dipenuhi penginapan).
Kala itu kami masih muda, usia saya dan Ez masih dibawah 30. Masih lincah dan bersemangat. Kalau sekarang mungkin sudah mulai mau "memanjakan" diri dan pilah pilih.
Selain ingin menambah pengalaman menginap di tempat yang lebih bagus, sudah ada si kecil juga yang boleh jadi bakal turut serta meramaikan acara liburan. Kenyamanan dan keamanan anak tentu turut menjadi prioritas.
Namun saya tetap keukeuh pengen bawa oleh-oleh. Baik berupa makanan dan barang. Rasanya senang aja gitu membawakan sesuatu buat keluarga di rumah setelah jalan jauh keluar kota. Pun saya juga merasa begitu. Merasa senang saat dapat oleh-oleh atau hadiah. #eh :D
Oleh-oleh dibeli ketika sudah mau pulang alias menjelang tanggal kepulangan. Ada tiga tempat yang didatangi yaitu pasar tingkat dekat kawasan Malioboro, toko buku Togamas, dan toko tas rajut lokal Kaay.
Di pasar tingkat Malioboro (anggap saja demikian, maaf tidak tahu nama resminya apa), saya dan Ez membeli camilan seperti dodol dan bakpia kering. Iya, gak ngeh kalau dodol seperti yang kami beli saat itu bisa ditemukan juga di pasar Jambi. Sementara bakpianya bukan merk terkenal, wkwk. Alhamdulillah enak.
Selain makanan, sempat juga di sana membeli tas rajut buat adik-adik. Tasnya tanpa merk namun kulihat kualitas benangnya bagus. Rajutannya juga rapi. Warna-warnanya adem, tidak gonjreng. Modelnya juga simple, tidak ribet, bisa dipakai di banyak acara. Ada resletingnya juga kalau tidak salah, jadi relatif aman dipakai. Ditambah harganya juga terjangkau. Ya sudah, bungkus!
Selanjutnya saat mampir ke Togamas, saya beli satu buku terbitan Marjin Kiri. Buku ini novel sastra karangan penulis Indonesia bernama Mahfud Ikhwan. Judulnya Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu. Bagus lho ini novelnya. Recommended!
Terakhir beli tas rajut buat diri sendiri sekalian titipan Emak. Nama merknya Kaay. Saat itu sudah sore dan tokonya sudah mau tutup. Alhamdulillah, baik sekali masih mau menunggu kami datang dan melayani. Maaf ya, waktunya mepet banget jadi maksain datang saat itu juga. Lokasi tepatnya sudah lupa saya (mungkin bisa cek Instagram mereka).
Saya pribadi suka dengan produk mereka. Tahu gak, tas yang saya beli tersebut masih awet rajutannya sampai sekarang. Sampai tahun 2023 masih tetap bisa dipakai lho. Sekitar enam tahun saya pakai kemana-mana. Bahkan saat merantau ke Batam kala itu.
Resletingnya saja yang mulai bermasalah. Namun masih bisa diakali. Sisanya masih perfect. Bahkan talinya tidak terkelupas karena menggunakan kulit asli bukan sintetis. Mungkin harganya sekarang sudah naik ya. Waktu itu masih terjangkau banget.
Begitu yang saya rasakan. Alhamdulillah diberi kelancaran saat menempuh jalan pulang kembali ke kota kelahiran. Tidak ada drama macet, pecah ban, dst. Bonusnya malah naik bus yang sama dengan saat pergi. Bahkan sopir dan kernetnya juga orang yang sama. Weleh-weleh.
Jujurly, saat itu ada rasa tidak nyaman kembali bertemu dengan armada bus yang sama. Entah karena diri ini introvert atau apa. Namun ya mau bagaimana lagi, wkwk.
Kalau sekarang sih sudah tidak lagi terlalu peduli dengan hal seperti itu. Mungkin karena sudah ada anak kali ya. Jadi fokus pikiran saya bukan tentang saya saja. Ada porsi anak, suami dan keluarga. Terutama anak yang benar-benar mengalihkan duniaku (yang baca dua kata cetak tebal itu sambil kebayang iklan Ponds dibintangi Afgan, fix seumuran, haha).
Namanya nostalgia. Personal pula sifatnya. Semoga ada faedah buat yang baca ya. Terimakasih buat yang sudah mau meluangkan waktu ikutan baca.
Next saya niat mau lanjut nyicil postingan liburan lainnya. Liburan nostalgia juga. Haha, ini buat menuntaskan hutang ke diri sendiri. Semoga dilancarkan nulis dan postingnya nanti. Aamiin. :D
#2 Ke Jogja Melihat Candi dan Tebing
#3 Dari Pantai Lalu ke Taman Sari Jogja
#4 Menikmati Jogja di Malam Hari
#5 Kulineran Tipis-tipis di Jogja
#6 Refleksi Paska Liburan di Jogja
Jogja 2017 - Penggalan lagu anak yang bisa jadi backsound kepulangan saya dan Ez dari Jogja. Setelah menghabiskan, katakanlah, seminggu di kota ini.
Ada banyak kenangan berkesan saat menikmati wisata di sini. Ada banyak pula yang berharap bisa dilakukan lagi. Ya, postingan ini sekedar koreksi pasca liburan dan sedikit kisah penutup seri Jogja 2017.
Ada Yang Kurang Tepat
Tiga hal yang menjadi bahan renungan setelah kembali dari liburan ke Jogja kala itu. Perubahan pola pikir sih salah satu penyebabnya.1| Quality over quantity
Salah satu halnya seputar itinerary atau rencana kunjungan. Kalau dilihat memang ada banyak tempat yang berhasil didatangi. Namun kualitas kunjungannya terasa kurang .Satu hari dihabiskan untuk minimal dua tempat wisata (bahkan kalau bisa tiga). Akibatnya terburu-buru dan tidak menikmati penuh. Belum lagi ditambah keinginan untuk memotret dan hal-hal semacamnya. Asik dokumentasi tanpa menikmati secara utuh berada di sana. Memakai istilah saat ini, kami merasa kurang mindful saat berwisata ke Jogja kala itu.
Hanya satu tempat dari banyak destinasi wisata yang bisa dinikmati dengan baik. Sebab kami tidak terburu-buru. Tidak juga riweuh sendiri dengan dokumentasi. Tempat tersebut adalah pantai Sadranan.
Disana pertama kalinya coba snorkeling. Tidak perlu motret sebab sudah ada mas-mas yang bantu fotoin. Selain itu tidak terpikir juga buat motret sendiri soalnya lebih fokus dengan aktivitas baru ini. Keasikan snorkeling dan main di laut juga bikin kami rela jika hari itu cuma bisa ke Sadranan saja. Yaudah, gak masalah dan memang tidak masalah, wkwk.
Singkatnya jika ada kesempatan lagi liburan keluar kota, semoga bisa lebih bijak lagi, hehe. Baik saat menentukan durasi kunjungan, daftar tujuan wisata, dokumentasi, serta printilan lainnya. Berharap agar bisa lebih sadar (mindful) dalam menikmati wisata di Jogja (dan di mana pun).
2| Sesi Kuliner
Boleh dibilang masa itu adalah masa dimana aku dan Ez lebih selektif soal tontonan daripada kulineran. Lebih mendahulukan pergi ke bioskop daripada coba resto baru,misalnya.Nah, pola pikir seperti itu juga yang mengiringi kunjungan ke Jogja. Sudah main jauh ke sana, yang jadi fokus adalah objek wisata alam serta wisata sejarah. Ya, gak salah sih. Cuma untuk wisata kulinernya, tidak terpikirkan.
Tidak ada daftar kuliner khusus yang mau dicoba. Pun saat di sana cuma terpikir untuk coba angkringan dan gudeg. Sebab kedua makanan itulah yang lumayan ikonik di benak. Selebihnya kami makan apa yang terlintas saja di kepala dengan menu-menu yang umum seperti nasi soto, gado-gado, lontong sayur, nasi padang (wkwk), dsb.
Makin ke sini, merasa kalau mencoba makanan "baru" seharusnya tidak boleh dilewatkan. Sama halnya dengan objek wisata, tiap daerah di Indonesia punya menu khas masing-masing yang tentu saja boleh jadi sulit ditemukan di tempat lain.
Jadi, makanan juga menjadi poin yang perlu kami koreksi. Maksudnya berharap agar pada kesempatan jalan-jalan berikutnya (entah di Jogja atau di mana saja) bisa coba banyak makanan di daerah tersebut. Mungkin tidak perlu semua, setidaknya bisa terasa memuaskan. Tidak seperti sekarang penasaran dengan rasa sate pincuk, lumpia basah, dll.
3| Tentang Penginapan
Saya dan Ez boleh dibilang pengantin anyar saat itu. Kami ke Jogja setelah kurang lebih lima bulan menikah. Kerabat dan kenalan mungkin berpikir kami mau liburan romantis di sana. Kenyataannya budget jalan-jalan ke Jogja tidak besar. Malah mirip budget backpacker. Apa itu honeymoon? Haha.Layaknya pergi liburan, ongkos terbesar biasanya untuk transportasi dan akomodasi. Nah, salah satu biaya yang kami tekan adalah penginapan. Ditambah pemikiran kalau penginapan cuma dipakai untuk tidur alias istirahat saja. Soalnya siang hari bakal ngebolang sana sini. Dan waktu malam pun dipakai buat jalan-jalan juga.
Jadi ya begitu. Penginapan standar dengan fasilitas demikian. Tidak buruk cuma tidak juga fancy alias mewah. Cukup dengan keamanan yang baik, privacy yang oke, serta sarana yang memadai. Meski tidak sepenuhnya nyaman, haha.
Nah, saat memutuskan untuk memperpanjang liburan, barulah kami upgrade sedikit penginapannya. Semalam atau dua malam ya, saya sedikit lupa. Dari area pinggiran Bantul, kami pindah ke tengah kota (lupa nama hotelnya, yang jelas terletak di area yang memang dipenuhi penginapan).
Kala itu kami masih muda, usia saya dan Ez masih dibawah 30. Masih lincah dan bersemangat. Kalau sekarang mungkin sudah mulai mau "memanjakan" diri dan pilah pilih.
Selain ingin menambah pengalaman menginap di tempat yang lebih bagus, sudah ada si kecil juga yang boleh jadi bakal turut serta meramaikan acara liburan. Kenyamanan dan keamanan anak tentu turut menjadi prioritas.
Waktunya Beli Oleh-Oleh
Pembaca tipe yang suka beli oleh-oleh gak kalau liburan? Saya suka sih tapi Ez tidak. Dia tipe yang tidak mau ribet dengan barang bawaan. Mirip seperti Emak saya.Namun saya tetap keukeuh pengen bawa oleh-oleh. Baik berupa makanan dan barang. Rasanya senang aja gitu membawakan sesuatu buat keluarga di rumah setelah jalan jauh keluar kota. Pun saya juga merasa begitu. Merasa senang saat dapat oleh-oleh atau hadiah. #eh :D
Oleh-oleh dibeli ketika sudah mau pulang alias menjelang tanggal kepulangan. Ada tiga tempat yang didatangi yaitu pasar tingkat dekat kawasan Malioboro, toko buku Togamas, dan toko tas rajut lokal Kaay.
Di pasar tingkat Malioboro (anggap saja demikian, maaf tidak tahu nama resminya apa), saya dan Ez membeli camilan seperti dodol dan bakpia kering. Iya, gak ngeh kalau dodol seperti yang kami beli saat itu bisa ditemukan juga di pasar Jambi. Sementara bakpianya bukan merk terkenal, wkwk. Alhamdulillah enak.
Selain makanan, sempat juga di sana membeli tas rajut buat adik-adik. Tasnya tanpa merk namun kulihat kualitas benangnya bagus. Rajutannya juga rapi. Warna-warnanya adem, tidak gonjreng. Modelnya juga simple, tidak ribet, bisa dipakai di banyak acara. Ada resletingnya juga kalau tidak salah, jadi relatif aman dipakai. Ditambah harganya juga terjangkau. Ya sudah, bungkus!
Selanjutnya saat mampir ke Togamas, saya beli satu buku terbitan Marjin Kiri. Buku ini novel sastra karangan penulis Indonesia bernama Mahfud Ikhwan. Judulnya Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu. Bagus lho ini novelnya. Recommended!
Terakhir beli tas rajut buat diri sendiri sekalian titipan Emak. Nama merknya Kaay. Saat itu sudah sore dan tokonya sudah mau tutup. Alhamdulillah, baik sekali masih mau menunggu kami datang dan melayani. Maaf ya, waktunya mepet banget jadi maksain datang saat itu juga. Lokasi tepatnya sudah lupa saya (mungkin bisa cek Instagram mereka).
Saya pribadi suka dengan produk mereka. Tahu gak, tas yang saya beli tersebut masih awet rajutannya sampai sekarang. Sampai tahun 2023 masih tetap bisa dipakai lho. Sekitar enam tahun saya pakai kemana-mana. Bahkan saat merantau ke Batam kala itu.
Resletingnya saja yang mulai bermasalah. Namun masih bisa diakali. Sisanya masih perfect. Bahkan talinya tidak terkelupas karena menggunakan kulit asli bukan sintetis. Mungkin harganya sekarang sudah naik ya. Waktu itu masih terjangkau banget.
Waktunya Pulang
Ketika pulang dari suatu tempat, jalanan yang dilewati terasa cepat sekali. Jarak tempuh terasa lebih singkat. Jauh lebih cepat daripada saat pergi. Padahal jalanan yang dilalui sama. Pembaca merasa seperti itu juga gak?Begitu yang saya rasakan. Alhamdulillah diberi kelancaran saat menempuh jalan pulang kembali ke kota kelahiran. Tidak ada drama macet, pecah ban, dst. Bonusnya malah naik bus yang sama dengan saat pergi. Bahkan sopir dan kernetnya juga orang yang sama. Weleh-weleh.
Jujurly, saat itu ada rasa tidak nyaman kembali bertemu dengan armada bus yang sama. Entah karena diri ini introvert atau apa. Namun ya mau bagaimana lagi, wkwk.
Kalau sekarang sih sudah tidak lagi terlalu peduli dengan hal seperti itu. Mungkin karena sudah ada anak kali ya. Jadi fokus pikiran saya bukan tentang saya saja. Ada porsi anak, suami dan keluarga. Terutama anak yang benar-benar mengalihkan duniaku (yang baca dua kata cetak tebal itu sambil kebayang iklan Ponds dibintangi Afgan, fix seumuran, haha).
What's Next?
Akhirnya cerita seri liburan Jogja ini tuntas juga. Gak nyangka bisa sampai lima postingan begini. Perkiraan awalnya cuma tiga malah mengembang jadi begini.Namanya nostalgia. Personal pula sifatnya. Semoga ada faedah buat yang baca ya. Terimakasih buat yang sudah mau meluangkan waktu ikutan baca.
Next saya niat mau lanjut nyicil postingan liburan lainnya. Liburan nostalgia juga. Haha, ini buat menuntaskan hutang ke diri sendiri. Semoga dilancarkan nulis dan postingnya nanti. Aamiin. :D
----------
Baca juga: Jogja Series 2017
#1 Melintasi Lampung dan Naik Kapal Laut#2 Ke Jogja Melihat Candi dan Tebing
#3 Dari Pantai Lalu ke Taman Sari Jogja
#4 Menikmati Jogja di Malam Hari
#5 Kulineran Tipis-tipis di Jogja
#6 Refleksi Paska Liburan di Jogja
Walau tidak ada potonya, uraian ceritanya seperti menggambarkan 'kepulangan'.
ReplyDelete