Menikmati Jogja di Malam Hari

Aku tidak ingat sudah menghabiskan berapa hari di Jogja. Yang kuingat kami menambah satu hari lagi di sana. Anggap saja rencana awal lima hari, eh keasikan jadi enam hari deh. Alhasil kepulangan kami tertunda.

Ada beberapa tempat lagi yang kami kunjungi selain objek wisata utama yang telah kuceritakan di postingan sebelumnya. Ada beberapa landmark yang kami kunjungi di sela-sela waktu (kebanyakan di malam hari). 

Malioboro

Kami mengunjungi Malioboro di malam hari. Saat itu suasananya ramai. Jalanan tersebut padat oleh pengunjung. Pastinya tidak lupa berfoto di tiang nama jalan legendaris ini.

Apa yang bisa dilihat di Malioboro? Selain suasana pertokoan, malam itu ada banyak sekali deretan pedagang makanan. Ada banyak yang menawarkan kuliner mulai dari sate pincuk, lumpia hingga ciri khas Jogja yaitu gudeg.

Mengutip dari situs perpustakaan Jogja, Malioboro sarat dengan sejarah. Dalam bahasa Sansekerta, kata Malioboro (Malya Bhara) berarti karangan bunga. Di sisi lain, penamaan jalan ini boleh jadi diambil dari nama kolonial Inggris yang pernah tinggal di sana yaitu Marlborough.

Jalanan ini telah ramai sejak jaman kolonial Belanda. Selain sebagai pusat perdagangan, jalanan ini pernah pula menjadi saksi bisu pertempuran pejuang tanah air melawan pasukan Belanda yang ingin menduduki kota Yogya.

Malioboro tetap mempertahankan konsep aslinya. Jika kami berkunjung di siang hari mungkin dapat lebih menikmati suasana serta bangunan yang memagari jalanan ini. Ya, mungkin suatu kali nanti.

Tugu Jogja

Sebab siang hari digunakan untuk melihat beragam objek wisata, maka menikmati suasana kota Jogja dilakukan di malam hari. Termasuk melihat Tugu Jogja ini.

Tugu ini sangat identik dengan kota Jogja. Mengutip dari situs Jogjaprov.go.id, Tugu Jogja dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755. Beliau juga merupakan pendiri keraton Yogyakarta.

Lokasi tugu memiliki nilai simbolis. Letaknya berada segaris dengan Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi. Pada saat awal berdiri, bangunan ini menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, yaitu semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajah.

Sama halnya dengan Malioboro, suasana tugu ramai. Tidak terlalu bisa menikmati sebab gelap malam membatasi jarak pandang. Memang ada banyak lampu yang menyala namun tidak bisa dibandingkan bila melihat dengan bantuan cahaya matahari.

Aku bisa mengingat bentuk tugu yang menjulang. Berwarna putih dan tidak tampak terlalu tinggi. Di sekitarnya ada ornamen berbentuk bola. Kalau tidak salah ingat, ada yang dijadikan tempat duduk. Aku dan Ez hanya melihat dari seberang jalan. Tidak mendekat dan tidak mengambil gambar.

Alun-alun

Ada dua alun-alun. Pertama, alun-alun utara (Lor) dan kedua, alun-alun selatan (Kidul). Alun-alun selatan terkenal dengan dua beringin kembarnya. Beberapa pengunjung tampak mencoba lewat di antara kedua pohon tersebut dengan menutup mata.

Ketika mengunjungi alun-alun utara, ada dua pohon beringin juga di sana. Namun entah mengapa tidak menarik banyak perhatian seperti kedua beringin di alun-alun satunya. Alih-alih beringin, perhatian masyarakat saat itu lebih terarah kepada jejeran patung raksasa yang berbaris dan berjajar di salah satu sisi alun-alun.

Patung-patung tersebut beserta display kira-kira setinggi delapan meter. Menggambarkan diorama Jenderal Sudirman yang ditandu oleh pasukannya. Jenderal sedang sakit namun masih tetap berjuang melawan penjajah.

Saat itu aku mengira jika patung-patung tersebut memang permanen. Ternyata merupakan bagian dari pameran yang diselenggarakan oleh seniman yang membuatnya yaitu Pak Yusman. Kami merasa beruntung dapat menyaksikan pameran yang bertajuk “Retrospeksi” tersebut.

Lanjut cerita, saat kami mengunjungi alun-alun utara, langit (kalau tdk salah) di sebelah barat tampak hitam dan menggumpal. Angin pun berhembus lumayan kencang. Siapapun pasti akan mengira jika hujan lebat akan turun.

Dan mungkin di situ uniknya kota Jogja. Langit sudah tampak begitu gelap, pedagang maupun pengunjung sore itu tidak tampak buru-buru beranjak pergi. Aku pribadi tidak yakin jika hujan yang dibawa langit tersebut hanya numpang lewat alias sebentar.

Mungkin mereka sudah dapat memperkirakan kapan langit hitam tersebut mencapai alun-alun. Dan mengikuti suasana atau atmosfir yang tenang tersebut, sempatlah pula kami beberapa kali berfoto di dekat pameran patung retrospeksi. Ya, itu salah satu suasana kota Jogja yang sulit dilupakan ketika berkunjung ke sana.

Togamas

Ini bukan landmark khusus kota Jogja. Hanya saja saat itu sempat mampir kemari. Dan ada keunikan yang bisa kutangkap. Jadi, aku tambahkan saja ke dalam postingan ini ya.

Togamas merupakan toko buku. Ada dua toko di sini (kalau tidak salah) yaitu Togamas Affandi dan Togamas Kotabaru.

Tentu kami mengandalkan GMaps untuk pergi di sana. Ketika sampai di parkiran, kami agak ragu apakah benar ini toko buku yang mau kami datangi. Tempat itu lebih terlihat seperti rumah.

Papan namanya lah yang menegaskan jika kami tidak salah tempat. Di tempat yang biasanya teras, ada seorang penjaga sedang menyampul buku dan seorang pembeli yang menunggu bukunya selesai disampul.

Di tempat yang biasanya ruang tamu, ada dua orang penjaga toko berdiri di balik konter kasir. Beberapa pengunjung tampak antre ingin membayar.

Dan di tempat yang biasanya kamar, berisi rak dan tumpukan buku. Daun pintunya sendiri sudah dilepas sehingga pengunjung leluasa untuk masuk dan memilih atau melihat buku di ruangan kamar tersebut.

Ada juga kolam ikan, tembok bata, serta atap berupa bubungan yang rendah. Memang menyerupai rumah. Sepertinya ini memang rumah yang “disulap” menjadi toko buku.

Ini satu lagi keunikannya. Tempat usahanya kebanyakan bukan ruko. Mereka memanfaatkan bangunan rumah umumnya berlokasi di tepi jalan tanpa mengubah bentuk bangunannya.

Aku tertarik untuk membawa pulang sebuah buku terbitan Marjin Kiri berjudul Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu. Buku ini ditulis oleh Mahfud Ikhwan dan menjadi pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2017.

Empat tahun kemudian baru akhirnya kubaca tuntas. Bagus banget isinya. Ternyata aku tidak salah pilih. Buku tersebut sudah diulas. Baca saja ulasan/reviewnya di Bukulova (blog buku milikku).

Baca juga: Review Dawuk karya Mahfud Ikhwan
https://bukulova.blogspot.com/2021/10/review-dawuk-kisah-kelabu-dari-rumbuk.html

----------

Baca juga: Jogja 2017 Post Series

#1 Melintasi Lampung dan Naik Kapal Laut
#2 Ke Jogja Melihat Candi dan Tebing
#3 Dari Pantai Lalu ke Taman Sari Jogja
#4 Menikmati Jogja di Malam Hari
#5 Kulineran Tipis-tipis di Jogja
#6 Refleksi Paska Liburan di Jogja

Comments

Popular posts from this blog

Tidaakk!!

Apa yang bisa dilakukan di Hago Farm

Pohon Sukun Meranggas