Kulineran Tipis-Tipis di Jogja
Tidak banyak sebenarnya kuliner yang kami nikmati saat mengunjungi kota ini. Saya dan Ez saat itu lebih cenderung ke wisata alam dan sejarah. Meski demikian ada beberapa pengalaman seputar kulineran yang bisa dibagikan. Ada beberapa yang melekat di benak.
Jajanan ini bikin penasaran karena seperti bakso tapi agak garing. Kuahnya sempat dibumbui tetes air hujan sebab ketika kami makan, gerimis mulai turun, haha.
Sayangnya saya tidak sempat ambil foto Bakwan Kawi ini. Gambaran di benak juga sudah memudar. Foto di atas hanya ilustrasi yang didapat dari Google. Kalau tidak salah ingat begitulah tampilannya. #yummy
Sedikit info dari Google, bakwan kawi ini tampaknya berasal dari Malang dan merupakan salah satu kreasi dari menu bakso Malang.
Biasanya, dalam satu mangkok bakwan kawi, kita akan menemukan bakso, pangsit rebus isi daging, pangsit goreng, dan tahu utuh yang disiram kuah kaldu dan diberi topping irisan daun bawang.
Mengapa disebut bakwan? Mengutip lagi satu sumber artikel di Google, antara bakso dan bakwan terdapat perbedaan. Bakso dibuat dari daging dan campuran tepung yang takarannya 50:50. Sedangkan, bakwan punya kandungan daging yang lebih banyak ketimbang tepungnya.
Ya begitulah. Saya tidak begitu ingat lagi bagaimana rasanya. Makannya pun saat itu lumayan buru-buru biar tidak kehujanan. Kepengen sih nyoba lagi. Mungkin suatu kali nanti. :D
Menjelang sampai ke bagian retribusi, terlihat berjejer di tepi-tepi jalan, jajanan lokal yang dinamakan "walang goreng". Tempat menjualnya sederhana, berupa kotak kecil yang di atasnya tersusun toples-toples kue yang tentunya berisi walang goreng. Ada spanduk kecil dan payung yang juga melengkapi tempat jualan tersebut.
Saya yang masih minim ilmu bahasa Jawa, berpikir lumayan keras memahami apa yang sebenarnya dijual oleh penduduk setempat itu. Nama hewan yang saya tahu memiliki nama walang hanyalah "walang sangit". Masa, iya, itu yang mereka jual?
Sehabis dari pantai, saya masih penasaran. Untuk menuju penginapan kami masih melalui jalan yang sama. Jadi kami berhenti sebentar dan saya turun untuk bertanya sekaligus melihat lebih dekat.
Ibu-ibu penjual walang goreng ramah dan murah senyum. Walang gorengnya dijual seharga 25ribu per toples (kalau saya tidak salah ingat).
Setelah lihat lebih dekat, walang yang dimaksud serupa jangkrik. Bentuknya masih tampak utuh hanya warnanya saja kecoklatan. Ada banyak pengunjung lain yang membeli panganan ini. Kemungkinan rasanya gurih dan renyah. Saya tidak membeli karena saya pribadi belum siap untuk mencoba mencicipinya.
Kembali di atas motor kami menganalisa, haha. Kesimpulan kami, walang itu berarti belalang. Dan ada banyak jenis belalang. Diantaranya ada yang berbau tidak sedap alias "sangit". Oleh karenanya itu dinamakan walang sangit. Namun walang jenis mana yang dijadikan cemilan itu, saya masih tidak tahu. #lah wkwk.
Lokasi pertama di sekitaran penginapan alias daerah Bantul. Kami pilih angkringan untuk makan malam.
Bapak penjualnya ramah dan cerita beberapa hal soal angkringan dan siapa saja yang biasanya beli dagangannya. Ia berjualan di kios kecil (atau itu di depan rumahnya ya, sayangnya aku sudah tidak terlalu ingat lagi).
Layaknya angkringan, menu yang ditawarkan bervariasi. Ada sate-satean, gorengan dan tidak ketinggalan nasi "kucingnya", hehe.
Long story short, kami kembali mencicipi angkringan kembali. Kali ini buat makan siang, beberapa hari sebelum pulang. Saya sudah lupa lokasinya di area mana.
Angkringan tersebut menggunakan gerobak khusus dan saat kami mulai makan, masih banyak varian menu yang bisa dipilih.
Beberapa orang juga tampak makan dan duduk menikmati menu yang ditawarkan dimana tidak jauh beda dengan ragam menu angkringan sebelumnya.
Entah karena lapar atau memang keasikan comot yang ada di depan mata, harga yang kami bayar ternyata cukup mahal juga ya. Haha, maksudnya ada ekspektasi kalau makan angkringan bisa lebih irit. Ternyata tidak juga.
Soal rasa, sejauh ini saya dan Ez masih terkesan dengan angkringan yang ada di kota sendiri. Iya, kebetulan di Jambi juga sudah ada yang jual angkringan. Pelanggannya kebanyakan mahasiswa. Rasanya mantap, harganya ramah di kantong. Sambalnya nikmat begitu juga racikan bumbu sate-satenya. Klop aja gitu di lidah.
Haha, bukan maksud membandingkan atau apa. Barangkali kami yang awam dan mungkin salah pilih angkringan. Pasti ada banyak penjual angkringan di Jogja yang rasanya mantap dengan harga yang lebih bersahabat. Kami memang asal saja, tidak survei dulu sebelumnya.
Mengutip dari Wikipedia, gudeg adalah makanan yang terbuat dari nangka muda (atau gori dalam bahasa Jawa) yang dimasak dengan santan. Perlu waktu berjam-jam untuk membuat hidangan ini. Warna coklat biasanya dihasilkan oleh daun jati yang dimasak bersamaan.
Saya dan Ez mencicipi gudeg saat jalan-jalan di Malioboro. Ada satu tempat makan di sana yang lumayan ramai. Menu yang ditawarkan seputar nasi putih, ayam atau ikan bakar (atau mungkin ada daging juga ya, lupa). Lalu ada menu gudeg dan krecek juga.
Makannya lesehan dan itupun seperti rebutan aja. Siapa cepat, dapat tempat duduk. Intinya kami akhirnya makan malam di situ. Tentunya pesan menu gudeg juga.
Layaknya cerita makan angkringan tadi, saya dan Ez belum terkesan dengan gudeg yang dicoba. Entah karena baru pertama kali makan sehingga lidah kami masih kurang akrab dengan rasanya. Atau karena kami salah pilih tempat makan lagi, haha.
Namun sejujurnya, saya pribadi tidak jera untuk kembali makan gudeg ataupun angkringan kalau kelak liburan ke Jogja lagi. Tentunya bakal mencari tahu dulu (mungkin via sosmed) dimana tempat angkringan dan gudeg yang mantap, hehe.
Salah satu menu yang saya coba adalah wedang ronde. Ini kali pertama mencoba minuman ini. Rasa penasaran campur antusias saat akhirnya minuman ini terhidang di meja.
Rasanya gimana? Jujurly, saat menulis postingan ini, saya tidak ingat persis. Hanya aroma jahe yang samar-samar muncul di benak.
Mangkoknya kecil namun cekung dan dalam. Tampaknya satu porsi itu sedikit, ternyata tidak juga. Hangat dan bikin segar, dalam artian mirip seperti minum jamu. Segar rempah.
Lain kali jika mampir lagi ke kota ini, saya pengen coba lagi deh wedang ronde. Biar makin lengket rasanya, harus dinikmati dengan baik dan mungkin dituliskan. Haha, segitunya pulak lah. :D
Dan tampaknya postingan soal liburan ini belum selesai. Masih ada beberapa hal yang mau diceritakan. Terutama soal perjalanan pulang.
Hendak digabung dengan postingan ini terasa beda bahasannya (meski masih satu tema yaitu soal liburan ke Jogja). Lagipula postingan ini sudah lumayan panjang.
Jadi bagi yang tertarik, baca saja lanjutannya ya. Have a nice day. :D
Bakwan Kawi
Sebelum beranjak dari alun-alun utara karena awan gelap pertanda akan hujan lebat, saya dan Ez sempat mencoba satu jajanan di sana. Namanya Bakwan Kawi.Jajanan ini bikin penasaran karena seperti bakso tapi agak garing. Kuahnya sempat dibumbui tetes air hujan sebab ketika kami makan, gerimis mulai turun, haha.
Sayangnya saya tidak sempat ambil foto Bakwan Kawi ini. Gambaran di benak juga sudah memudar. Foto di atas hanya ilustrasi yang didapat dari Google. Kalau tidak salah ingat begitulah tampilannya. #yummy
Sedikit info dari Google, bakwan kawi ini tampaknya berasal dari Malang dan merupakan salah satu kreasi dari menu bakso Malang.
Biasanya, dalam satu mangkok bakwan kawi, kita akan menemukan bakso, pangsit rebus isi daging, pangsit goreng, dan tahu utuh yang disiram kuah kaldu dan diberi topping irisan daun bawang.
Mengapa disebut bakwan? Mengutip lagi satu sumber artikel di Google, antara bakso dan bakwan terdapat perbedaan. Bakso dibuat dari daging dan campuran tepung yang takarannya 50:50. Sedangkan, bakwan punya kandungan daging yang lebih banyak ketimbang tepungnya.
Ya begitulah. Saya tidak begitu ingat lagi bagaimana rasanya. Makannya pun saat itu lumayan buru-buru biar tidak kehujanan. Kepengen sih nyoba lagi. Mungkin suatu kali nanti. :D
Walang Goreng
Saat melewati daerah Gunung Kidul untuk menuju pantai Sadranan tampak jalanan yang berkelok naik turun. Udara pagi itu bersih dan banyak pemandangan hijau yang bikin sejuk mata.Menjelang sampai ke bagian retribusi, terlihat berjejer di tepi-tepi jalan, jajanan lokal yang dinamakan "walang goreng". Tempat menjualnya sederhana, berupa kotak kecil yang di atasnya tersusun toples-toples kue yang tentunya berisi walang goreng. Ada spanduk kecil dan payung yang juga melengkapi tempat jualan tersebut.
Saya yang masih minim ilmu bahasa Jawa, berpikir lumayan keras memahami apa yang sebenarnya dijual oleh penduduk setempat itu. Nama hewan yang saya tahu memiliki nama walang hanyalah "walang sangit". Masa, iya, itu yang mereka jual?
Sehabis dari pantai, saya masih penasaran. Untuk menuju penginapan kami masih melalui jalan yang sama. Jadi kami berhenti sebentar dan saya turun untuk bertanya sekaligus melihat lebih dekat.
Ibu-ibu penjual walang goreng ramah dan murah senyum. Walang gorengnya dijual seharga 25ribu per toples (kalau saya tidak salah ingat).
Setelah lihat lebih dekat, walang yang dimaksud serupa jangkrik. Bentuknya masih tampak utuh hanya warnanya saja kecoklatan. Ada banyak pengunjung lain yang membeli panganan ini. Kemungkinan rasanya gurih dan renyah. Saya tidak membeli karena saya pribadi belum siap untuk mencoba mencicipinya.
Kembali di atas motor kami menganalisa, haha. Kesimpulan kami, walang itu berarti belalang. Dan ada banyak jenis belalang. Diantaranya ada yang berbau tidak sedap alias "sangit". Oleh karenanya itu dinamakan walang sangit. Namun walang jenis mana yang dijadikan cemilan itu, saya masih tidak tahu. #lah wkwk.
Angkringan
Ingat Jogja, ingat angkringan. Gitu gak sih? Makanan ini sudah jadi salah satu ikon kota Jogja. Saat liburan waktu itu, saya dan Ez dua kali mencicipi panganan ini di dua lokasi berbeda.Lokasi pertama di sekitaran penginapan alias daerah Bantul. Kami pilih angkringan untuk makan malam.
Bapak penjualnya ramah dan cerita beberapa hal soal angkringan dan siapa saja yang biasanya beli dagangannya. Ia berjualan di kios kecil (atau itu di depan rumahnya ya, sayangnya aku sudah tidak terlalu ingat lagi).
Layaknya angkringan, menu yang ditawarkan bervariasi. Ada sate-satean, gorengan dan tidak ketinggalan nasi "kucingnya", hehe.
Long story short, kami kembali mencicipi angkringan kembali. Kali ini buat makan siang, beberapa hari sebelum pulang. Saya sudah lupa lokasinya di area mana.
Angkringan tersebut menggunakan gerobak khusus dan saat kami mulai makan, masih banyak varian menu yang bisa dipilih.
Beberapa orang juga tampak makan dan duduk menikmati menu yang ditawarkan dimana tidak jauh beda dengan ragam menu angkringan sebelumnya.
Entah karena lapar atau memang keasikan comot yang ada di depan mata, harga yang kami bayar ternyata cukup mahal juga ya. Haha, maksudnya ada ekspektasi kalau makan angkringan bisa lebih irit. Ternyata tidak juga.
Soal rasa, sejauh ini saya dan Ez masih terkesan dengan angkringan yang ada di kota sendiri. Iya, kebetulan di Jambi juga sudah ada yang jual angkringan. Pelanggannya kebanyakan mahasiswa. Rasanya mantap, harganya ramah di kantong. Sambalnya nikmat begitu juga racikan bumbu sate-satenya. Klop aja gitu di lidah.
Haha, bukan maksud membandingkan atau apa. Barangkali kami yang awam dan mungkin salah pilih angkringan. Pasti ada banyak penjual angkringan di Jogja yang rasanya mantap dengan harga yang lebih bersahabat. Kami memang asal saja, tidak survei dulu sebelumnya.
Gudeg
Sama halnya dengan angkringan, gudeg sudah paten khas Jogja banget. Begitu terkenalnya bahkan sudah tahu soal gudeg sejak masih di sekolah dasar.Mengutip dari Wikipedia, gudeg adalah makanan yang terbuat dari nangka muda (atau gori dalam bahasa Jawa) yang dimasak dengan santan. Perlu waktu berjam-jam untuk membuat hidangan ini. Warna coklat biasanya dihasilkan oleh daun jati yang dimasak bersamaan.
Saya dan Ez mencicipi gudeg saat jalan-jalan di Malioboro. Ada satu tempat makan di sana yang lumayan ramai. Menu yang ditawarkan seputar nasi putih, ayam atau ikan bakar (atau mungkin ada daging juga ya, lupa). Lalu ada menu gudeg dan krecek juga.
Makannya lesehan dan itupun seperti rebutan aja. Siapa cepat, dapat tempat duduk. Intinya kami akhirnya makan malam di situ. Tentunya pesan menu gudeg juga.
Layaknya cerita makan angkringan tadi, saya dan Ez belum terkesan dengan gudeg yang dicoba. Entah karena baru pertama kali makan sehingga lidah kami masih kurang akrab dengan rasanya. Atau karena kami salah pilih tempat makan lagi, haha.
Namun sejujurnya, saya pribadi tidak jera untuk kembali makan gudeg ataupun angkringan kalau kelak liburan ke Jogja lagi. Tentunya bakal mencari tahu dulu (mungkin via sosmed) dimana tempat angkringan dan gudeg yang mantap, hehe.
Wedang Ronde
Suasana alun-alun saat itu ramai seperti pasar malam. Ada banyak lampu kelap kelip di sekitar warung-warung lesehan. Saya dan Ez melipir ke salah satunya. Dengan tikar yang digelar di atas rumput dan meja kecil di hadapan kami. Ada kertas menu kecil buat melihat makanan yang ditawarkan.Salah satu menu yang saya coba adalah wedang ronde. Ini kali pertama mencoba minuman ini. Rasa penasaran campur antusias saat akhirnya minuman ini terhidang di meja.
Rasanya gimana? Jujurly, saat menulis postingan ini, saya tidak ingat persis. Hanya aroma jahe yang samar-samar muncul di benak.
Mangkoknya kecil namun cekung dan dalam. Tampaknya satu porsi itu sedikit, ternyata tidak juga. Hangat dan bikin segar, dalam artian mirip seperti minum jamu. Segar rempah.
Lain kali jika mampir lagi ke kota ini, saya pengen coba lagi deh wedang ronde. Biar makin lengket rasanya, harus dinikmati dengan baik dan mungkin dituliskan. Haha, segitunya pulak lah. :D
Mari Pulang
Tidak menyangka kalau postingan nostalgia liburan ke Jogja tahun 2017 lalu bakal meluber jadi banyak bagian seperti ini.Dan tampaknya postingan soal liburan ini belum selesai. Masih ada beberapa hal yang mau diceritakan. Terutama soal perjalanan pulang.
Hendak digabung dengan postingan ini terasa beda bahasannya (meski masih satu tema yaitu soal liburan ke Jogja). Lagipula postingan ini sudah lumayan panjang.
Jadi bagi yang tertarik, baca saja lanjutannya ya. Have a nice day. :D
----------
Baca juga: Jogja 2017 Post Series
#5 Kulineran Tipis-tipis di Jogja
Comments
Post a Comment