Posts

Showing posts with the label MFF

Sebelum Fajar

Image
“Kalian dapat apa malam ini?” ujar Selena yang diapit oleh kedua adiknya. “Beberapa gelandangan merayuku, namun aku memilih pejalan kaki,” ucap Mariskha. “Seharusnya kak Mariskha ikut aku. Mereka yang di klub malam sangat menyenangkan,” timpal si Bungsu, Verona. “Hmm, besok akan kucoba ke sana,” ujar Marishka sambil mengulas senyum. “Kak Selena sendiri dapat apa?” Selena menghela napas, “Tidak ada. Aku bosan hidup seperti ini.” Mariskha dan Verona sontak menatap kakaknya. Mata mereka membulat. “Kak, sudah tiga hari. Bisa bahaya jika kakak terus seperti itu!” Samar-samar semburat fajar mulai menampakkan dirinya. Selena menyadari itu. “Tenanglah. Aku hanya bosan, bukan berarti akan berhenti. Lagi pula tidak mungkin aku meninggalkan kalian begitu saja,” ujar Selena sembari merangkul kedua saudarinya. “Fajar akan menyingsing. Ayo, lekas kita pulang!” Mariskha dan Verona menggangguk sembari tersenyum lega. Serupa sayap kelelawar tumbuh dan mengepak dari punggung mereka. Ya, harus

Dalam Dekapan Jarak

Image
“Gak mungkin! Rian gak mungkin seperti itu. Jangan bawa Rian! Riaannn…” Niya terbangun dengan napas terengah. Butiran peluh mengalir di dahinya. Mimpi tentang Rian telah membuatnya kembali terjaga. Ternyata ia tertidur saat mengerjakan tugas Pak Hendra, dosen Bahasa Inggrisnya. Niya meringis sejenak menghalau pusing yang sempat hinggap di kepala. Ia ingin beringsut ke tempat tidur namun kelip lampu kecil di tepi laptopnya membuatnya mengurungkan niat. Mimpi yang membuatnya terjaga tadi kembali melintas. Niya mengulurkan tangannya, layar laptop pun kembali menyala. Sketsa oleh Carolina Ratri. Diambil dari sini Niya termanggu. Airmatanya mulai menetes. Matanya memandang penuh rindu. Ya, rindu yang dengan susah payah ia bendung. Rian masih tersenyum lewat fotonya yang terpajang sebagai wallpaper di layar laptop Niya. Andai Rian benar ada di dekatnya, pastilah ia sudah menghapus airmata yang saat ini menderas di pipinya.

Ketika Semua Terungkap

Image
Aku melangkah mendekati pintu, membuat celah kecil untuk bola mataku mengintip keluar kamar. Mereka berteriak saling menyalahkan. "Kau benar-benar Ibu yang tidak becus! Ini akibat jika kau terlalu memanjakannya. Lihatlah seperti apa dia sekarang! Seharusnya kau mampu mendidiknya menjadi seorang Andre Putra Riyadi." "Mas, kau tidak bisa menyalahkanku begitu saja. Selama ini kau sendiri dimana? Hanya kerja dan kerja! Kau yang seharusnya ikut menunjukkan bagaimana menjadi seorang Putra. Hatiku juga sakit, Mas, mengetahui hal ini," airmata Ibu mengalir dengan deras.  Burning Giraffes and Telephones karya Salvador Dali. Source

Di Suatu Malam, Di Tepi Sebuah Danau

Image
Sumber: http://arzuhan.deviantart.com/art/Darkness-100010629 Laurent menjejakan kakinya di tepian danau. Ada batuan yang sedikit menjorok ke danau itu dan ia menyusurinya. Laurent menurunkan tudung jaketnya, membiarkan dingin menyusup hingga ke sela-sela rambut. Matanya menatap jauh ke air danau yang hitam. Samar terdengar nyanyian merdu dari tengah danau. Bulan malu-malu, bersembunyi di balik awan Langit malam ini pekat, pepohonan pun telah tertidur Namun angin masih ada, mengantarkanmu kembali Dan di danau ini kita bertemu lagi Manusia duyung! Siripnya yang menyala keemasan sesekali mengintip dari pekatnya air danau. Rambutnya panjang terurai dan juga berwarna keemasan. Manusia duyung berparas cantik!

Doppelganger

Image
"Ahh, lega!" Suaraku memantul di dinding toilet sekolah. Tidak ada yang menggubris karena aku memang sendirian. Suasana pagi, saat jam pertama sekolah dimulai memang sepi. Kurapikan seragam dan rambutku. "Baiklah, saatnya kembali ke kelas." gambar diambil dari sini Aku hampir sampai. Hanya perlu menyusuri satu koridor lagi. Kelasku di ujung koridor, sedikit berbelok ke kanan. Di koridor terakhir ini, hanya ada satu ruang kelas, kelas Tujuh. Kau harus melewati deretan loker siswa sebelum sampai di pintu masuk kelas ini.

Perjanjian

Image
Gambar diambil dari sini . Edited by me. Lucy melirik jam di kamarnya. 3:06, dini hari. Tidurnya tertahan, memikirkan tunggakan cerita yang harus dia selesaikan. Semilir angin dingin tiba-tiba berhembus. Seperti terhipnotis, akhirnya dia tertidur dalam kegelisahan.   Mimpi mengantarkannya ke atas jembatan sungai Themes. Hening, sepi, sendiri. Awan terlihat rendah, menggumpal. Sesekali kilat, petir menghiasi. Lucy berlari keluar dari jembatan. "Hello, Lucy!” Seseorang muncul dan menghalangi jalannya. Lelaki berpostur tinggi tegap dengan mantel hitam semata kaki.

Nomor 666666

Image
gambar diambil dari sini Cahaya matahari telah surut. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Jalan Cemara masih ramai oleh manusia. Entah itu melintas dengan mobil-mobil mereka atau dengan langkah kakinya. Hewan-hewan liar tak bertuan juga ikut melintasi jalan ini. Aku mematung di sisi jalan. Memperhatikan mereka dari balik tudung hitamku. Lebih tepatnya memperhatikan angka-angka berwarna merah yang menyala di atas ubun-ubun mereka. Angka yang menunjukkan berapa lama lagi waktu yang tersisa bagi mereka untuk menarik napas.

Tak Kasat Mata

Image
sumber unsplash Theo dengan sweater abu-abunya menggandeng tangan Naya. Sebelah tangannya lagi memegang ice cream yang baru saja dibelinya. Malam ini mereka berjalan-jalan menikmati keriuhan Pekan Raya Festival. "Naya, kamu kenapa sih bawa boneka beruang itu terus?" Theo bertanya sambil menyeruput es krimnya. "Namanya Anne. Diingat dong, Theo!" Naya menyorongkan Anne kehadapan Theo. "Kamu sendiri, mengapa masih saja memakai topi jelek itu?" Naya balik bertanya sambil merapihkan pita biru yang melingkar di leher Anne. "Topi ini keren, Nay. Lihat! Aku jadi lebih kerenkan dengan topi ini? Haha.." "Apanya yang keren? Kamu saja yang tidak mau tahu," Naya menggerutu pelan. "Duduk situ yuk, Nay! Ribet nih makan es krim sambil jalan." Theo menunjuk bangku di sisi jalan. Beberapa tetes es krim meleleh jatuh melewati tangannya. Namun tetes es krim itu tidak pernah mencapai tanah.

I Do Remember

Image
gambar diambil dari sini Kenop pintu ruangan itu terbuka. Rama melangkah masuk. Setelah menekan saklar, satu persatu lampu ruangan menyala. Dari tempatnya berdiri sekarang, tampak lima anak tangga yang akan membawanya turun dan masuk lebih jauh ke dalam ruangan itu. Tangan kanannya menggenggam sebuah buku yang masih bersegel dan setangkai mawar. Buku dan mawar untuk Nina. Di anak tangga ketiga, Rama berhenti dan tertegun sejenak. Wangi buku masih menggelitik manis hidungnya. Ruangan itu memang penuh dengan buku. Rak-rak buku menjulang sepanjang dinding ruangan. Di dekat tempatnya berdiri, ada sebuah kursi dan meja kayu yang masih penuh dengan tumpukan buku. Ada pula kursi beludru hijau nyaman yang seperti termenung sendirian di ruangan itu. Ruang baca ini dibangunnya bersama Nina. Wujud dari kegilaan mereka akan buku. Ya, mereka pecandu buku kronis.

Bintang Jatuh

Image
gambar diambil dari sini Hoamm . Aku berbaring malas di atas sofa, menahan kantuk sambil menunggu waktu Isya. Dengan mata sayup, tampak di layar tivi kilasan gambar dari hujan meteor Perseid yang akhir-akhir ini ramai diberitakan. Siiing..!! Tiba-tiba ada cahaya terang sekali dari halaman depan rumah. Cahaya menyilaukan sesaat itu segera disusul dengan suara berdebum. Aku terlonjak kaget, kantukku hilang. Tersisa suara desisan lidah api. Aku bangkit dari sofa dan memberanikan diri berjalan ke pintu depan. Dengan hati-hati dan jantung berdebar, ku dorong pintu ke arah luar. Asap putih tipis menyeruak. Samar dibalik asap ku lihat sebuah ceruk kecil terbentuk di tanah. Di sekitarnya, beberapa lidah api kecil membakar rumput halaman. Aku menengadah. Gugusan bintang di langit berkelip centil. Hmm..tidak mungkin.

Teror Sesudah Badai

Image
Nadia, adik kecilku yang berusia 7 tahun itu membangunkanku. Rupanya aku tadi tertidur di depan tivi. Tak lama ku dengar Ibu berteriak kalau makan malam sudah siap. Aku beringsut ke ruang makan. Agar kantuk yang tersisa ini hilang, aku membasuh muka sebentar di westafel kecil di pojok ruangan. Sembari mengumpulkan nyawa dan mengeringkan wajah, aku melihat ke luar rumah kami lewat jendela kecil di samping westafel ini. Jendela kecil ini menghadap ke arah laut. Hujan sisa badai sedari pagi tadi masih turun, meskipun hanya tinggal rintik gerimis. Sudah pukul setengah delapan dan hari semakin gelap. Saat kilat menghiasi langit, samar-samar ku melihat sesuatu yang besar dan menjulang kokoh, sedikit terombang-ambing oleh ombak. Sesuatu itu terlihat seperti kapal. Ya, kapal besar yang terdampar di tepi pantai, di pulau kecil yang kami tinggali ini. Kilat datang lagi dan jantungku berdegub kencang saat samar-samar ku melihat sesuatu bergerombol menuruni dinding kapal. Dari jendela itu

Matanya Untukku

Image
Aku berdiri di tepian sungai. Aliran angin menerpa dan memainkan ujung-ujung rambutku. Airmataku jatuh setiap teringat kepedihan di dua minggu yang lalu. Bersama angin dan kesendirian, aku berharap kepedihan ini pergi. Ketika matahari hampir sampai di tepi horizon, ku hapus air mata yang tersisa dan berbalik ingin kembali ke rumah. Dan di saat itulah ku lihat dia. Lelaki yang telah ku kenal lama sekali, sejak masa kanak-kanak. Dengan matanya yang dalam, dia masih saja melihatku dengan cara seperti itu. Memandang jauh ke dalam mataku, begitu intens, tanpa mencoba berkedip. Air mukanya masih sama, menyimpan keraguan dan bingung ingin bertindak seperti apa. Tetapi matanya, sejak dulu, telah berbicara banyak. Berbicara dengan bahasa yang saat itu belum mampu ku mengerti.