Cerita tentang Kadal
sumber unsplash |
Aku mau cerita sedikit tentang
kadal-kadal yang (tidak sengaja) kutemui saat tinggal di Batam. Mengapa tentang
kadal? Karena ternyata aku sering berurusan dengan hewan tersebut saat tinggal di
sana. Mungkin karena kebetulan di belakang rumah tinggalku di sana ada sebatang
pohon buah seri yang lumayan tinggi. Habitatnya kadal (kalau tidak salah) di
batang pohon. Jadi, ya, mungkin karena itulah aku jadi agak sering bertemu
dengan reptil satu ini.
Kadal
Pertama
Ukurannya sedang. Tidak terlalu kecil
dan tidak juga terlalu besar. Mungkin seukuraan tokek dewasa. Saat itu aku
hendak menjemur pakaian di halaman belakang. Ketika membuka pintu, aku
terkejut. Ada sesuatu yang melintasi rerumputan yang memang lumayan memenuhi
halaman belakang. Rumputnya tidak pula tinggi, namun ternyata cukup untuk kadal
bersembunyi. Ragu-ragu, aku beranikan diri untuk tetap menjemur pakaian yang
baru selesai kucuci tersebut. Ketika melihat pergerakanku, si kadal juga ikut
bergerak. Dia lari ke pojok kiri halaman. Aku pun memutuskan untuk mulai
menjemur dari pojok kanan. Saat jemuran di kanan penuh, aku perlahan ke kiri.
Si kadal waspada dan langsung berlari ke kanan. Aku ketakutan. Kadalnya juga
ketakutan. Setidaknya kami tidak ketakutan sendirian. Hari berikutnya pun
demikian hingga suami pulang dan mengusir keluar hewan tersebut dari halaman
belakang.
Kadal
Kedua
Ukurannya terbesar dari semua kadal yang
pernah kulihat selama ini. Kira-kira sebesar anak kucing, gemuk, montok, dengan kepala tegak ketika dia
berjalan di siang hari itu. Intinya “besar”. Demikian jika benakku tidak salah
ingat. Sayang, tidak ada fotonya.
Omong-omong, saat itu aku sedang
menunggu suami keluar dari kantornya. Aku menunggu bersama motorku di depan
sebuah ruko yang tidak terpakai (memang sengaja tidak menunggu di depan
kantor). Ketika bosan memainkan hape, aku mendongak ke arah jalan. Terkejutlah
aku.
Aku tebak dia muncul dari celah selokan
air yang terbuka sedikit di bagian atas. Si kadal yang ada di hadapanku ini
tampak ragu-ragu. Agaknya dia mau menuju teras tempat aku duduk menunggu. Aku
malas untuk pindah. Akhirnya aku coba keluarkan suara untuk mengusirnya. Dia
berbalik. Eh, tak lama kemudian, maju kembali.
Aku pun mengusirnya lagi sambil berjalan
beberapa langkah ke depan. Oke, dia balik badan kembali menuju selokan. Aman
kupikir. Namun, jantungku jadi berdebar melihat dia maju kembali ke arahku.
Astaga! Apa teras ini rute jalan-jalan dia di siang hari, ya? Kok, keukuh beud mau lewat sini. Hey! Kamu
terlambat. Aku sudah duluan duduk di sini.
Rasanya aku mau bicara seperti itu ke
kadal tersebut. Sayangnya, tak jauh dariku ada seorang anak sekolah yang sedang
berdiri menunggu jemputan (sepertinya di juga kaget dengan kemunculan kadal
tersebut). Selain itu, ada juga beberapa orang yang lalu lalang di koridor
teras-teras ruko tersebut. Akhirnya aku kembali mengusirnya dengan suara
“hush..hush!”. Untung kali ini dia menurut dan pergi menjauh. Mencari rute
baru, mungkin.
Kadal
Ketiga
Aku bukan pengintip dan jarang sekali
menyibak tirai jendela kalau tidak ada tujuan yang jelas (dan baik), misalnya
melihat air yang sedang turun dari langit. Melihat hujan maksudnya. Namun di
suatu siang, entah karena apa, aku menyibak tirai jendela depan. Tidak ada
keramaian di depan rumah. Tidak ada kurir yang membawa kabar gembira sambil
teriak paket!. Tidak ada truk sampah
yang suka iseng tidak mengembalikan tong sampahku ke tempat semula. Hari itu tidak
pula hujan. Hanya matahari yang terik dan udara gersang yang tertiup angin.
Ya, mungkin hari itu aku diminta untuk
menyaksikan tingkah seekor kadal lagi. Tirai tersibak dan bola mataku mengarah
ke kanan. Tampak sedikit pekarangan depan dari rumah sebelah. Di dekat teras
rumah ada sepetak tanah yang penuh dengan semak belukar. Tampaknya si kadal mau
ke semak tersebut. Tapi dia berhenti sejenak di teras. Kepalanya tegak dan celingak celinguk. Kepala kadal itu
menoleh ke kiri kanan. Kamu habis ngapain? Apa, yang kamu lihat, hey? ~rasa
hatiku ingin menanyainya. Kadal yang ini mencurigakan. P.S. Aku tidak mengadu tentang kadal itu ke si pemilik rumah karena aku
tidak tahu siapa pemiliknya. Rumah sebelah itu tidak berpenghuni alias masih
kosong.
Kadal
Keempat
Aku berani mengusir kadal besar alias si
Kadal Kedua. Namun ketar ketir saat ada kadal kecil di halaman belakang.
Alasannya sederhana. Kadal besar itu ada di ruang terbuka. Ada banyak tempat
untuk menghindar dan lari. Ada orang-orang di sekitar yang bisa langsung
dimintai tolong. Nah, kalau di halaman belakang rumah, situasinya berkebalikan.
Ruangan tertutup dengan permukaan penuh rumput yang sebenarnya sangat
menguntungkan si kadal jika dia paham. Dan kejadian lagi. Halaman belakang
rumah kemasukan kadal lagi.
Syukurlah ukurannya sedikit lebih kecil
dari semua kadal yang sempat kutemui sebelumnya. Dia menetap jauh di pojok
kanan pintu. Ketika aku bergerak untuk menjemur pakaian, dia tidak panik. Dia
diam bersembunyi. Ini kadal pembawaannya tenang sekali.
Aku pun mulai akur dengan kadal yang
ini. Apakah ada sebulan dia di halaman belakang rumah? Lebih, rasa-rasanya. Pak
Suami juga enggan mengusir keluar kadal tersebut. Aku jadi berpikir, apa yang
dimakan kadal ini? Apakah buah-buah seri yang jatuh terbawa angin ke halaman
belakang? Apakah kadal pohon itu herbivora?
Terakhir kudengar kadal tersebut masuk
ke rumah dan berdiam di dalam hingga dua hari. Dia bersembunyi di balik rak
sepatu. Aku sudah tidak ada di rumah. Saat itu rumah hanya dihuni oleh Pak
Suami yang sangat rajin membuka pintu belakang seharian. Setelah ketahuan
beliau hidup bersama kadal selama dua hari, kadal itupun diusir lewat pintu
depan. Berkelanalah dia ke sekitaran komplek perumahan ini, kurasa. Atau mungkin,
dia malah sudah bersahabat dengan Kadal Ketiga.
Jadi, sejauh ini, itulah keempat kadal yang sempat kutemui selama tinggal di sana. Mungkin mereka kadal yang sama. Bisa juga mereka empat kadal yang berbeda. Yang jelas, aku masih belum paham mengapa aku harus melihat dan berurusan dengan kadal-kadal itu. #rahasiailahi
Comments
Post a Comment