November 2021: Drama Perjalanan Jambi-Batam
Pada November 2021 lalu, saya dan Ez kembali ke Batam. Bisa dibilang ini perjalanan keluar kota saya yang terakhir sebelum mengandung, melahirkan dan mengasuh ER hingga lebih kurang dua tahun ke depan.
Tujuan utama kami saat itu untuk mengosongkan kontrakan atau rumah sewa di sana. Ez masih WFH (Work From Home) dan masih akan bekerja secara remote beberapa bulan ke depan di Jambi. Oleh sebab itu kontrakan kami di Batam yang sudah dibiarkan kosong selama delapan bulan, sudah saatnya untuk tidak lagi diperpanjang sewanya.
Perjalanan pulang dan pergi boleh dibilang lumayan penuh drama. Ada saja hal-hal tak terduga yang mengiringi. Di sisi lain kegiatan mengosongkan rumah adalah sesuatu yang baru buat kami. Dan beginilah ceritanya.
Sebagai sebuah pulau di tengah lautan dengan ukuran yang tidak terlalu luas, Kota Batam dapat ditempuh melalui dua cara yaitu via laut dan udara.
Menempuh jalur laut dari Provinsi Jambi sangat ideal jika tinggal di Kuala Tungkal. Sebab pelabuhan dimana kapal yang bertolak ke Batam berada di sana. Oleh karena itu, memilih via Laut akan sedikit sulit mengingat tempat tinggal kami di Kota Jambi.
Dibutuhkan sekitar tiga jam perjalanan darat menuju Kuala Tungkal. Kapal yang berangkat pun tidak bisa setiap hari. Kalau tidak salah ingat hanya setiap dua kali seminggu dan itupun di hari kerja. Jadi, jalur laut tidak ideal untuk kami lakukan meskipun ketika pandemi belum menyapa kita semua.
Jalur favorit kami menuju Batam melalui udara atau pesawat terbang. Cara ini praktis dan efisien. Biaya yang dikeluarkan pun tidak begitu besar.
Kita hanya perlu memesan tiket (yang bisa dilakukan secara online). Lalu datang ke bandara sesuai jadwal yang ditentukan, sebagaimana layaknya bepergian melalui udara pada umumnya. Perjalanannya sendiri hanya memakan waktu sekitar 45-60 menit.
Penerbangan ke sana tersedia setiap hari dan bisa melalui beberapa maskapai. Kami memilih penerbangan pagi sekitar pukul enam pagi. Jarak bandara dari rumah dapat ditempuh dalam waktu ±15 menit berkendara. Dengan berangkat pagi, kami punya lebih banyak waktu untuk memulai kegiatan di Batam.
Tahun 2021, dunia masih dalam suasana Covid 19. Kemudahan akses tersebut akhirnya menjadi kenangan. Perjalanan ke Batam menjadi sulit terutama jika kamu tinggal di Jambi.
Oleh karena itu, mau tidak mau kami harus menempuh jalur darat. Caranya dengan pergi ke provinsi tetangga dan ambil penerbangan dari sana. Ada tiga pilihan yaitu lewat kota Padang, Palembang atau Pekanbaru. Nah kami memutuskan untuk lewat Pekanbaru.
Untuk bepergian dengan pesawat harus punya hasil PCR negatif. Kami pesan tiket pesawat melalui Travel**a. Tiket tersebut sudah lengkap dengan biaya PCR yang bisa dilakukan di salah satu Rumah Sakit di kota ini.
Jujur tes PCR ini bikin rumit untuk terbang. Harganya lumayan dan masa berlakunya singkat (3 x 24 jam) sehingga menjadi tricky sekali. Kita pesan tiket pesawat dan kalau gagal berangkat, maka yang hangus bukan hanya tiketnya saja melainkan hasil tes PCR-nya.
Sehari dari jadwal PCR, nah di sini perkara dimulai. Saya sudah tidak ingat persisnya bagaimana. Yang jelas kami tidak bisa redeem (katakanlah) voucher PCR yang kami punya. Rumah Sakit tersebut tidak lagi bekerja sama menyediakan PCR untuk penerbangan kami.
Kami coba datangi loket maskapai yang kami gunakan untuk meminta penjelasan dan jalan keluar. Saya tidak ingat detailnya bagaimana, yang jelas lokasi PCR pindah ke Pekanbaru. Saya sudah lupa juga apakah ada tambahan biaya lagi soalnya voucher yang ada tidak berlaku (meski sudah bayar sekitar 200k atau malah 400k untuk PCR).
Adakah pembaca yang pernah melewati jalur lintas Timur dari Jambi ke Riau? Jalur ini bisa dibilang datar dan tidak melewati pinggiran jurang namun minusnya (bagi saya) jalan ini berkelok-kelok. Saya sudah jera sebenarnya naik mobil travel apalagi lewat jalan yang tidak lurus seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi.
Meski sudah antisipasi dengan makan tablet anti mabuk perjalanan, kepala saya tetap pusing, keluar keringat dingin dan akhirnya perut saya mulai memuntahkan isinya selama melewati jalanan yang berkelok tersebut dimana sangat panjang (hingga ke mulai masuk wilayah perbatasan Jambi-Riau, cmiiw, hiks).
Namun kendala yang dihadapi bukan cuma itu saja. Menjelang sampai di perbatasan provinsi, kami dihadang banjir. Hujan memang turun lumayan deras saat itu. Alhasil ada lima titik banjir yang menghadang kami. Arusnya deras dan airnya tinggi, tidak bisa dilalui oleh truk apalagi mobil travel yang seukuran mobil pribadi ini.
Mulai timbul antrian dan kemacetan baik dari jalur Jambi-Riau dan sebaliknya. Seharusnya sampai Pekanbaru subuh, lalu menjelang siang kami terbang ke Batam. Namun akhirnya terlambat hingga sore harinya. Bayangkan apa yang terjadi dengan tiket pesawat Pekanbaru - Batam yang kami punya.
Ini kali pertama saya menjejakan kaki di kota ini. Puas berkeliling sebab pak sopir harus antar penumpang lainnya ke tujuan mereka masing-masing. Jika suasana normal pasti terasa menyenangkan. Namun kali ini benar-benar lelah.
Kami tidak turun di penginapan melainkan di Rumah Sakit guna mendapatkan tes PCR. Saat itu tes dilangsungkan di salah satu halaman parkir. Antriannya tidak banyak. Dengan menenteng koper dan ransel plus wajah berminyak nan lusuh, kami ikutan tes.
Hasilnya baru keluar lepas tengah malam nanti. Bayangkan bagaimana tidak tenangnya. Sebab jadwal berangkat sekitar jam sepuluh pagi. Berdoa sekali agar keluar tepat waktu dan tentunya negatif. Kalau tidak, ambyar.
Selepas tes, tidak juga langsung ke hotel. Mampir dulu donk ke bandara. Ez penasaran bagaimana caranya menukar tiket reschedule. Sebab bukti fisiknya tidak ada dan blabla. Haha, saya sudah tidak ngeh lagi soal ini. Semuanya ikut akal suami saja.
Yup, mau tidak mau tiket kami di-reschedule. Ez yang mengurus via telepon saat masih di dalam mobil travel yang terjebak banjir. Jadwalnya mundur dari Sabtu menjadi Minggu. Dengan tambahan biaya tentunya. Yang sedikit membengkak karena ada tambahan biaya menginap semalam.
Puas menenteng koper serta menggendong ransel dalam keadaan kusut masai di kota orang. Dengan sisa tenaga yang ada akhirnya kami check-in juga di hotel yang tidak jauh dari bandara. Pengen banget mandi, bersih-bersih melepas gerah. Terus makan sampai kenyang lalu rebahan.
Tiket yang di reschedule kemarin aman. Setelah urusan sana sini yang entahlah, akhirnya bisa menunggu penerbangan dengan tenang di ruang tunggu bandara.
Ini kali pertama terbang ke Batam melalui Pekanbaru. Dengan segala keruwetan yang ada membuat hal ini menjadi tidak mudah untuk dinikmati. Saya lupa berapa lama waktu tempuhnya. Mungkin sekitar 45 menit juga.
Alhamdulillah, akhirnya tiba di bandara Batam. Sebagai bandara internasional dan juga sibuk tentunya, ada satu hal yang kala itu kurang mengenakan. Perihal taxi konvensional.
Ada rombongan taxi non-online yang memasang tarif dengan seenaknya. Jarak kontrakan dan bandara cuma 10-15 menit bila naik motor ataupun mobil. Itupun tidak perlu lewat tol dan jalan tidak macet. Cuma melewati satu kali lampu merah dimana kalau hoki malah tidak kena alias lampu hijau saja.
Berapa tarif taxinya? Tawarannya 80k. Dan dengan segala keribetan harus tawar menawar, harganya menjadi 65k. Ini sangat kontras dengan harga taxi online. Jika dibalik, pergi dari kontrakan ke bandara, cuma habis 20 ribuan saja. Benar-benar bikin greget.
Seandainya tidak bawa koper dan ransel yang berat, tentulah kami bisa jalan kaki saja. Dengar-dengar saat ini sudah ada revisi kebijakan perihal keberadaan taxi online di sana. Namun entahlah. Jika ada yang sulit kenapa harus pakai cara yang mudah, ya kan? #sigh
Tujuan utama kami saat itu untuk mengosongkan kontrakan atau rumah sewa di sana. Ez masih WFH (Work From Home) dan masih akan bekerja secara remote beberapa bulan ke depan di Jambi. Oleh sebab itu kontrakan kami di Batam yang sudah dibiarkan kosong selama delapan bulan, sudah saatnya untuk tidak lagi diperpanjang sewanya.
Perjalanan pulang dan pergi boleh dibilang lumayan penuh drama. Ada saja hal-hal tak terduga yang mengiringi. Di sisi lain kegiatan mengosongkan rumah adalah sesuatu yang baru buat kami. Dan beginilah ceritanya.
Ke Batam Lewat Jalur Laut dan Udara (Sebelum Pandemi)
Pandemi mengubah banyak hal, salah satunya transportasi dari Jambi menuju Batam dan begitu pula sebaliknya. Sebelum pandemi sangat mudah sekali melakukannya. Mari kita flashback sedikit mengenai rute yang bisa ditempuh pada masa dimana manusia bumi belum mengenal Covid 19.Sebagai sebuah pulau di tengah lautan dengan ukuran yang tidak terlalu luas, Kota Batam dapat ditempuh melalui dua cara yaitu via laut dan udara.
Menempuh jalur laut dari Provinsi Jambi sangat ideal jika tinggal di Kuala Tungkal. Sebab pelabuhan dimana kapal yang bertolak ke Batam berada di sana. Oleh karena itu, memilih via Laut akan sedikit sulit mengingat tempat tinggal kami di Kota Jambi.
Dibutuhkan sekitar tiga jam perjalanan darat menuju Kuala Tungkal. Kapal yang berangkat pun tidak bisa setiap hari. Kalau tidak salah ingat hanya setiap dua kali seminggu dan itupun di hari kerja. Jadi, jalur laut tidak ideal untuk kami lakukan meskipun ketika pandemi belum menyapa kita semua.
Jalur favorit kami menuju Batam melalui udara atau pesawat terbang. Cara ini praktis dan efisien. Biaya yang dikeluarkan pun tidak begitu besar.
Kita hanya perlu memesan tiket (yang bisa dilakukan secara online). Lalu datang ke bandara sesuai jadwal yang ditentukan, sebagaimana layaknya bepergian melalui udara pada umumnya. Perjalanannya sendiri hanya memakan waktu sekitar 45-60 menit.
Penerbangan ke sana tersedia setiap hari dan bisa melalui beberapa maskapai. Kami memilih penerbangan pagi sekitar pukul enam pagi. Jarak bandara dari rumah dapat ditempuh dalam waktu ±15 menit berkendara. Dengan berangkat pagi, kami punya lebih banyak waktu untuk memulai kegiatan di Batam.
Tahun 2021, dunia masih dalam suasana Covid 19. Kemudahan akses tersebut akhirnya menjadi kenangan. Perjalanan ke Batam menjadi sulit terutama jika kamu tinggal di Jambi.
Perkara PCR
Sayangnya selama pandemi, jalur pesawat Jambi-Batam dan sebaliknya tidak ada alias kosong. Kalaupun saya salah ingat, tiketnya lumayan mahal sehingga tidak rela jika harus dihabiskan untuk pesawat saja.Oleh karena itu, mau tidak mau kami harus menempuh jalur darat. Caranya dengan pergi ke provinsi tetangga dan ambil penerbangan dari sana. Ada tiga pilihan yaitu lewat kota Padang, Palembang atau Pekanbaru. Nah kami memutuskan untuk lewat Pekanbaru.
Untuk bepergian dengan pesawat harus punya hasil PCR negatif. Kami pesan tiket pesawat melalui Travel**a. Tiket tersebut sudah lengkap dengan biaya PCR yang bisa dilakukan di salah satu Rumah Sakit di kota ini.
Jujur tes PCR ini bikin rumit untuk terbang. Harganya lumayan dan masa berlakunya singkat (3 x 24 jam) sehingga menjadi tricky sekali. Kita pesan tiket pesawat dan kalau gagal berangkat, maka yang hangus bukan hanya tiketnya saja melainkan hasil tes PCR-nya.
Sehari dari jadwal PCR, nah di sini perkara dimulai. Saya sudah tidak ingat persisnya bagaimana. Yang jelas kami tidak bisa redeem (katakanlah) voucher PCR yang kami punya. Rumah Sakit tersebut tidak lagi bekerja sama menyediakan PCR untuk penerbangan kami.
Kami coba datangi loket maskapai yang kami gunakan untuk meminta penjelasan dan jalan keluar. Saya tidak ingat detailnya bagaimana, yang jelas lokasi PCR pindah ke Pekanbaru. Saya sudah lupa juga apakah ada tambahan biaya lagi soalnya voucher yang ada tidak berlaku (meski sudah bayar sekitar 200k atau malah 400k untuk PCR).
Perjalanan ke Pekanbaru
Jadwal penerbangan kami hari Sabtu. Maka Jumat malam, saya dan Ez berangkat ke Pekanbaru via darat dengan naik mobil travel. Kami dijemput di rumah dan nanti diturunkan di lokasi yang kami tentukan.Adakah pembaca yang pernah melewati jalur lintas Timur dari Jambi ke Riau? Jalur ini bisa dibilang datar dan tidak melewati pinggiran jurang namun minusnya (bagi saya) jalan ini berkelok-kelok. Saya sudah jera sebenarnya naik mobil travel apalagi lewat jalan yang tidak lurus seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi.
Meski sudah antisipasi dengan makan tablet anti mabuk perjalanan, kepala saya tetap pusing, keluar keringat dingin dan akhirnya perut saya mulai memuntahkan isinya selama melewati jalanan yang berkelok tersebut dimana sangat panjang (hingga ke mulai masuk wilayah perbatasan Jambi-Riau, cmiiw, hiks).
Namun kendala yang dihadapi bukan cuma itu saja. Menjelang sampai di perbatasan provinsi, kami dihadang banjir. Hujan memang turun lumayan deras saat itu. Alhasil ada lima titik banjir yang menghadang kami. Arusnya deras dan airnya tinggi, tidak bisa dilalui oleh truk apalagi mobil travel yang seukuran mobil pribadi ini.
Mulai timbul antrian dan kemacetan baik dari jalur Jambi-Riau dan sebaliknya. Seharusnya sampai Pekanbaru subuh, lalu menjelang siang kami terbang ke Batam. Namun akhirnya terlambat hingga sore harinya. Bayangkan apa yang terjadi dengan tiket pesawat Pekanbaru - Batam yang kami punya.
Di Kota Pekanbaru
Kami masuk Pekanbaru Sabtu siang. Berhenti sebentar di rumah makan untuk istirahat dan mengisi perut. Syukurlah kondisi saya jauh lebih baik. Ditambah jalanan sudah mulai lurus minim kelokan.Ini kali pertama saya menjejakan kaki di kota ini. Puas berkeliling sebab pak sopir harus antar penumpang lainnya ke tujuan mereka masing-masing. Jika suasana normal pasti terasa menyenangkan. Namun kali ini benar-benar lelah.
Kami tidak turun di penginapan melainkan di Rumah Sakit guna mendapatkan tes PCR. Saat itu tes dilangsungkan di salah satu halaman parkir. Antriannya tidak banyak. Dengan menenteng koper dan ransel plus wajah berminyak nan lusuh, kami ikutan tes.
Hasilnya baru keluar lepas tengah malam nanti. Bayangkan bagaimana tidak tenangnya. Sebab jadwal berangkat sekitar jam sepuluh pagi. Berdoa sekali agar keluar tepat waktu dan tentunya negatif. Kalau tidak, ambyar.
Selepas tes, tidak juga langsung ke hotel. Mampir dulu donk ke bandara. Ez penasaran bagaimana caranya menukar tiket reschedule. Sebab bukti fisiknya tidak ada dan blabla. Haha, saya sudah tidak ngeh lagi soal ini. Semuanya ikut akal suami saja.
Yup, mau tidak mau tiket kami di-reschedule. Ez yang mengurus via telepon saat masih di dalam mobil travel yang terjebak banjir. Jadwalnya mundur dari Sabtu menjadi Minggu. Dengan tambahan biaya tentunya. Yang sedikit membengkak karena ada tambahan biaya menginap semalam.
Puas menenteng koper serta menggendong ransel dalam keadaan kusut masai di kota orang. Dengan sisa tenaga yang ada akhirnya kami check-in juga di hotel yang tidak jauh dari bandara. Pengen banget mandi, bersih-bersih melepas gerah. Terus makan sampai kenyang lalu rebahan.
Terbang dan Tiba di Batam
Minggu, sekitar jam sebelas (kalau tidak salah ingat) kami terbang ke Batam. Selepas sarapan di hotel dan beres-beres, kami pun check-out dan langsung ke bandara. Barang bawaan agak banyak dan menyusahkan. Ya mau bagaimana lagi.Tiket yang di reschedule kemarin aman. Setelah urusan sana sini yang entahlah, akhirnya bisa menunggu penerbangan dengan tenang di ruang tunggu bandara.
Ini kali pertama terbang ke Batam melalui Pekanbaru. Dengan segala keruwetan yang ada membuat hal ini menjadi tidak mudah untuk dinikmati. Saya lupa berapa lama waktu tempuhnya. Mungkin sekitar 45 menit juga.
Alhamdulillah, akhirnya tiba di bandara Batam. Sebagai bandara internasional dan juga sibuk tentunya, ada satu hal yang kala itu kurang mengenakan. Perihal taxi konvensional.
Ada rombongan taxi non-online yang memasang tarif dengan seenaknya. Jarak kontrakan dan bandara cuma 10-15 menit bila naik motor ataupun mobil. Itupun tidak perlu lewat tol dan jalan tidak macet. Cuma melewati satu kali lampu merah dimana kalau hoki malah tidak kena alias lampu hijau saja.
Berapa tarif taxinya? Tawarannya 80k. Dan dengan segala keribetan harus tawar menawar, harganya menjadi 65k. Ini sangat kontras dengan harga taxi online. Jika dibalik, pergi dari kontrakan ke bandara, cuma habis 20 ribuan saja. Benar-benar bikin greget.
Seandainya tidak bawa koper dan ransel yang berat, tentulah kami bisa jalan kaki saja. Dengar-dengar saat ini sudah ada revisi kebijakan perihal keberadaan taxi online di sana. Namun entahlah. Jika ada yang sulit kenapa harus pakai cara yang mudah, ya kan? #sigh
Comments
Post a Comment