Tentang Ketidakadilan dan Kekerasan Seksual pada Perempuan

Senin malam lalu (11/01), aku mengikuti sharing session yang diselenggarakan oleh Indonesian Content Creator sebagai salah satu rangkaian acara ODOP 2021. Topik yang diangkat mengenai Peran Keluarga Sebagai Support Sistem Penyintas Kekerasan Seksual. Narasumbernya adalah kak Muyassaroh Hafidzoh. 

blog cover | canva

Acara dimulai dari pukul 19.00 hingga selesai melalui media Zoom. Ringkasnya, acara ini diawali dengan pemaparan materi oleh kak Muyas dan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Acara berlangsung dengan baik dan interaktif. 

Berikut rangkuman materi acara dan beberapa tanya jawab serta kesan selama mengikuti acara tersebut. Mohon maaf sebelumnya kalau ada missing point atau tidak tepat sasaran karena apa yang dirangkum di tulisan ini berdasarkan catatan dan pengamatanku saat itu dibantu oleh materi dari power point (ppt) yang telah dibagikan kepada peserta. Semoga bermanfaat. 

Profil Narasumber 

Sebelum kuceritakan apa saja yang didapat dari acara ini, yuk kita lihat dulu profil kak Muyas sebagai narasumber. 

banner odop icc sharing time

Kak Muyas atau lengkapnya Muyassaroh Hafidzoh adalah penulis novel Hilda dan Cinta dalam Mimpi. Novel Hilda sendiri mengangkat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Hilda yang merupakan pelajar SMA mengalami tindak perkosaan hingga dinyatakan hamil. Setelah menjadi korban, jangankan menerima uluran tangan (pertolongan), Hilda malah banyak menerima ketidakadilan. Miris sekali ya. 

Disebutkan juga novel ini berangkat dari kegelisahan kak Muyas melihat banyak ketidakadilan yang diterima oleh perempuan. Selain itu novel ini ditulis karena ingin menyuarakan bahwa perempuan itu adalah manusia seutuhnya, bukan objek kekerasan atau ketidakadilan. Novel tersebut juga sebagai upaya untuk menghentikan kasus kekerasan pada perempuan. 

Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Bagi Perempuan 

Yuk, kita masuk ke bagian materi dari sharing kali ini. Ada beberapa wujud ketidakadilan yang kerap diterima oleh perempuan terutama yang menjadi korban kekerasan seksual. Berikut bentuk-bentuk dari ketidakadilan tersebut. 

1| Marginalisasi 

Proses atau perlakuan peminggiran seseorang khususnya karena perbedaan jenis kelamin. Marginalisasi pada perempuan misalnya seorang buruh pabrik perempuan hamil atau melahirkan, jika ia izin tidak masuk bekerja bisa diancam potong gaji atau bahkan pemutusan hubungan kerja. Jadi seperti dipinggirkan dan tidak ada toleransi untuk perempuan tersebut. Salah satu penyebab marginalisasi ini adalah kuatnya budaya patriarki yang tertanam di tempat tersebut. 

2| Subordinasi 

Suatu bentuk ketidakadilan dimana laki-laki lebih diprioritaskan untuk mendapatkan jabatan daripada perempuan padahal mereka memiliki kapabilitas/kemampuan yang sama. Contoh yang sering terjadi adalah anggapan kalau perempuan tidak mungkin bisa menjadi pemimpin. Padahal kemampuan dan kecerdasan seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan berdasarkan kapasitas dan kesanggupannya memikul tanggung jawab. 

Melalui sesi tanya jawab, kak Muyas menambahkan kalau pemimpin itu adalah pelindung, penganyom. Pemimpin adalah pelayan bagi yang dipimpin. Pemimpin bukanlah yang suka nyuruh-nyuruh dll. Suami sebagai kepala keluarga berarti dia harus melayani keluarga dan anggota keluarganya dnegan baik. Melalui definisi di atas maka antara pemimpin dan yang dipimpin harus saling menghormati satu sama lain. 

3| Kekerasan 

Perlakuan kasar terhadap perempuan baik secara verbal maupun nonverbal. Tindakan kekerasan ini muncul boleh jadi karena adanya anggapan kalau laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan. Telah banyak kasus yang tercatat bahwa perempuan sering dijadikan objek kekerasan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab. 

Korban kekerasan pun sering mendapatkan perlakuan tidak adil lanjutan seperti dianggap berbohong (mengada-ada), mencemarkan nama baik, atau hanya sekedar mencari sensasi. Belum lagi jika ada yang membenarkan tindak kekerasan seperti ini atas dasar agama seperti perempuan layak diperlakukan kasar karena durhaka kepada suami, dsb. Rasanya miris sekali mendengarnya. 

4| Stereotype atau melalui pelabelan negatif 

Stigma atau label (biasanya negatif) yang melekat pada diri atau kelompok tertentu. Misalnya anak laki-laki yang mudah menangis dianggap laki-laki yang lemah atau cengeng, bukan dianggap sebagai ungkapan emosi yang wajar. Atau kalau tidak merokok maka cupu/bukan laki-laki sejati, padahal tidak demikian. 

Sementara itu contoh ketidakadilan pada perempuan melalui stereotype misalnya perempuan harus bekerja pada ranah domestik (pekerjaan rumah tangga), sedangkan laki-laki pada sektor publik. Perempuan juga identik dengan suara yang menggoda, cengeng, dll. Stigma atau label yang melekat pada diri seperti ini boleh jadi berasal dari konstruksi sosial di masyarakat tersebut. 

ilustrasi | unsplash

Bagaimana dengan perempuan korban kererasan seksual yang memang menggunakan baju tidak pantas (mengundang syahwat)? Apakah tidak boleh menasehatinya (atau memberi tahu kalau pakaiannya yang menyebabkan ia dilecehkan? 

Kak Muyas berpendapat kalau tidak bijksana jika hanya menuduh/memojokkan perempuan tersebut. Pelecehan/perkosaan merupakan perbuatan dzalim. Kasarnya, bahkan perempuan yang telanjang saja tidak pantas diperkosa. Jika perempuan dipertanyakan apakah memakai baju yang pantas saat kejadian tersebut, maka laki-laki juga harus dipertanyakan mengapa ia keluar rumah sehingga bertemu dengan perempuan tersebut atau mengapa ia tidak menundukkan pandangannya. Mengapa laki-laki tersebut tidak melihat perempuan sebagai makhluk yang mempunyai kecerdasan intelektual dan spiritual. Bukan hanya memandangnya sebagai mahkluk seksual saja. 

Muslimah memang harus menutup aurat. Memberi nasihat dari sisi agama adalah hal baik namun bukan berupa tuduhan atau amarah. Tidak ada yang tahu siapa yang lebih baik, antara kita atau dia? Korban tetaplah korban dan harus dibantu/didampingi. 

5| Beban ganda –yang dipaksakan- 

Biasanya sering terjadi dalam ranah rumah tangga, perempuan yang berkarier di luar harus mengurus urusan domestik juga tanpa bantuan siapapun. Pembagian kerja tanpa kesepakatan seperti ini masih sering dialamatkan kepada perempuan sebagai korbannya. Bukannya malah saling membantu, ada pula laki-laki atau suami yang tidak membantu urusan rumah tangganya sendiri. Sedangkan laki-laki tersebut bisa jadi tidak banyak bekerja dan hanya bersantai saja. 

Lebih lanjut dijelaskan kalau perempuan bisa saja harus bekerja di luar (mencari nafkah) kalau suaminya sakit atau daalam kondisi tidak memungkinkan untuk mencari nafkah. Baiknya laki-laki atau pun perempuan yang sama-sama bekerja di luar, harus pintar juga berbagi pekerjaan domestik. 

Menolong Korban Kekerasan Seksual 

Penyintas merupakan korban yang sudah bangkit. Sementara statusnya akan tetap seorang korban jika belum bangkit. 

ilustrasi | unsplash

Setelah menulis novel Hilda, Kak Muyas tidak menyangka akan mendapatkan banyak respon dari pembacanya. Termasuk tidak mengira akan mendapatkan curhatan terkait kasus kekerasan seksual yang dialami sendiri oleh pembaca novel Hilda. 

Umumnya kasus kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat. Ada satu kejadian yang membuat sedih dan miris. Kejadian tersebut menimpa seorang pembaca novel Hilda. Setelah kejadian tersebut, ia bercerita kepada kelurga (orang tua) namun tidak ditanggapi, tidak dipercaya dan malah dimarahi. Hal ini membuatnya melakukan 3x percobaan bunuh diri. 

Syukurlah korban ini akhirnya bangkit dan menjadi penyintas kasus kekerasan seksual. Mengapa bisa bangkit? Karena setelah 3x melakukan percobaan bunuh diri dan gagal (tidak mati), ia menemukan hidayah bahwa Allah sayang dengan dirinya. 

Namun bayangkan, 3x percobaan bunuh diri karena keluarga yang seharusnya menjadi support sistemnya malah mengabaikannya, tidak menolong atau melakukan sesuatu. Haruskah sampai begitu? 

Betapa dukungan dan pembelaan serta pertolongan dari keluarga (dan tentunya masyarakat sekitar) merupakan hal penting yang perlu didapatkan oleh korban kekerasan seksual. Hilda sendiri mempunyai sosok ibu yang kuat yang membantunya untuk bangkit dan menjadikannya seorang penyintas. Tanyakan kondisi korban, jangan langsung menghakimi. 

Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan untuk korban kekerasan seksual berdasarkan materi dari PPT kak Muyas sekaligus penutup postingan ini. 
  • Melindungi korban supaya tidak mengalami ketidakadilan 
  • Mendukung sepenuhnya korban untuk terus bangkit kembali 
  • Melakukan proses hukum dengan meminta bantuan LBH terdekat (dengan membuat laporan maka setidaknya ada data yang tercatat. Data-data tersebut nantinya dapat memudahkan untuk meminta kebijakan dari pemerintah seperti RUU PKS yang belum juga disahkan hingga saat ini). 
  • Mengobati korban baik luka fisik maupun psikis 
  • Dampingi selalu sampai korban bisa kembali pulih. 
Submitted to: 
One Day One Post 2021 – Indonesian Content Creator (1.163 kata)

Comments

Popular posts from this blog

Tidaakk!!

Apa yang bisa dilakukan di Hago Farm

Pohon Sukun Meranggas