Review Novel Rumah Maya karangan Tan Swat San
“Aku terperangkap menyaksikan kematian sang
waktu.”
gambar diambil dari sini |
Judul: Rumah Maya
Pengarang: Tan Swat San
Penerbit: Castle
Books
Tahun terbit: 2005
(Cetakan I)
Tebal buku: 288 halaman
ISBN: 979-9892-59-7
Ketika membongkar
timbunan buku, novel berjudul Rumah Maya karangan Tan Swat San ini muncul
kehadapanku. Aku membelinya dulu, sudah lama sekali, ketika masih semester awal
perkuliahan (sekitar tahun 2008). Entah kenapa, novel ini malah terlewat untuk
dibaca. Memang, sih, saat itu aku membeli beberapa buku sekaligus, mumpung
harganya diskon banget, hehe.
Oke,
langsung saja! Novel ini dibuka dengan sebuah prolog tentang seorang lelaki
bisu yang kebingungan dan nyaris seperti orang gila. Lelaki tanpa sehelai
benang yang melekat di tubuhnya itu terlihat kurus dan tak terurus. Namun,
lengan kanannya terkepal kuat menggenggam sebuah kertas, yang entah apa isinya.
Singkat cerita, lelaki tersebut diselamatkan oleh tetua desa. Namun tak lama,
dia ditemukan sudah tak bernyawa. Genggaman tangannya terbuka dan tetua membaca
apa yang tertulis di kertas tersebut. Semua akhirnya terungkap.
Saski,
Bunda (Kunti Maharani) dan kedua temannya (Suli dan Randi) berlibur ke suatu
tempat di daerah Pantai Selatan. Di tepi pantai tersebut ada sebuah mercusuar
yang berdiri kokoh, berwarna putih. Tepat di sampingnya ada sebuah rumah yang
besar dan indah. Di sana mereka di sambut oleh seorang penunggu rumah bernama
Yudhis. Rumah tersebut begitu mewah dan menyediakan apa saja yang mereka mau
dan sukai. Semenjak berlibur di rumah itulah, kehidupan mereka berjalan tidak
semestinya dan rahasia demi rahasia pun terungkap.
So far,
novel ini terkesan ringan namun pada bagian-bagian tertentu tampak memadat
dengan pilihan kata yang digunakan. Sementara alur yang digunakan adalah alur
maju-mundur. Ini berarti Pembaca harus cermat merangkai ulang cerita agar
mendapatkan sebuah titik temu atau benang merah jalinan kisah yang ingin
disampaikan si penulis.
Ada
beberapa keunikan di dalam novel setebal 288 halaman ini. Diantaranya, penulis
sering menambahkan sebuah puisi (umumnya) di akhir bab. Puisi ini bisa kita
baca dan dengan intens muncul mulai dari bab ketujuh: Tiga Cangkir Kopi di Teras
Depan. Ketika bab ketujuh ini akan berakhir, penulis menyusupkan sebuah puisi
singkat. Aku tidak tahu apa yang melatari penulisan puisi di akhir bab
seterusnya. Dan aku juga tidak mengerti mengapa di bab-bab awal, tidak ada
puisi yang disisipkan. Mungkinkah si Penulis berubah mood? Entahlah. Yang
jelas, ini salah satu contoh puisi singkat di bab ketujuh (hal.86) tersebut,
hehe.
Tuhan,
Bunda,
Ayah,
Semua,
Siapapun,
Apapun.
Kataan
ada apa!!!
Jangan
biarkan aku buta.
JANGAN!!!
Keunikan
lainnya yang mungkin bisa kita soroti adalah novel ini cukup kental dengan
tradisi. Bisa juga dibilang, tradisi atau kebudayaan Jawa menjadi latar
penulisan novel ini. Legenda tentang Penguasa Laut Pantai Selatan menjadi topik
utama yang berkaitan erat dengan isi novel.
Tradisi
atau kebudayaan Jawa juga terlihat dalam penamaan tokoh di dalam novel ini. Ada
empat nama tokoh di dalam novel ini yang turut membuatku penasaran. Nama tokoh
yang kumaksud adalah Pandu, Kunti Maharani, Saski Putri Drupadi dan Yudhistira Putra
Pandu. Di dalam cerita, mereka seharusnya adalah pasangan yang harus segera
dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Aku pun mencoba Googling untuk mencari
kaitan antara Drupadi, Yudhistira, Kunti dan Pandu.
Pandhu. Gambar diambil dari sini |
Dewi Kunthi. Gambar diambil dari sini |
Haha,
ternyata meman benar, nama-nama tersebut memiliki keterkaitan. Si Mbah Google melalui
Wikipedia bilang kalau Pandu adalah suami dari Dewi Kunti. Mereka pun
melahirkan Pandawa Lima dimana salah seorangnya adalah Yudhistira. Atau dengan
kata lain Yudhistira memang putra Pandu. Di lain pihak, Drupadi sendiri adalah
pasangan atau istri dari Yudhistira. Ini salah satu poin plus di mana penulis
cukup detail dalam pemberian nama yang akhirnya mengikuti pembentukan watak
atau lakon tokoh di dalam novel ini.
Yudhistira. Gambar diambil dari sini |
Drupadi. Gambar diambil dari sini |
Adapun yang
agak mengganggu dari novel ini adalah penggunaaan ‘tanda kurung’ yang memuat
celotehan atau perkataan inner para tokoh, khususnya Saski. Aku tidak tahu apa
istilahnya di dalam dunia tulis menulis. Namun agar lebih mudah dipahami,
berikut kutipan 'tanda kurung' tersebut:
Hari
ini suasana rumah terasa begitu dingin. (Gile, booo’, lebih dingin ketimbang
kulkas yang aku masuki kemaren saat aku kepanasan!) -- hal.78
Ayah
tidak akan lupa rumah ini, dan ayah pasti pulang. (Moga aja deh bunda benar.
Soalnya kok absurd banget, gitu!) -- hal.78
Apa
bisa ngerti dengan sendirinya, coba? (Langsung ‘Tiiing! Kali, ya?) -- hal.79
Ada banyak
sekali 'tanda kurung' yang berisi kalimat-kalimat seperti itu. Hal ini kunilai
cukup mengganggu dan mengubah mood pembaca. Jika saja hanya ada beberapa 'tanda
kurung' seperti itu, ya gak kenapa juga. Namun ternyata ada banyak dan
bertebaran terutama di paruh pertama novel ini ditamnah dengan penempatannya
yang menurutku tidak pas.
Selain
perihal masalah ‘tanda kurung’ tersebut, satu hal yang agak mengubah mood
pembaca (yang seperti aku, hehe) adalah penggunaan beberapa kata dalam bahasa
Inggris. Contohnya seperti ini:
Kan
aku cerdas, jadi bisa selalu menempatkan diri dengan baik dan benar. So, bisa
aman setiap saat dan tempat. – hal.81
Akibatnya,
stop! Semua hanya berdesakan, saling gencet, dan satu pun tak ada yang berhasil
keluar. – hal. 85
Aku
melaksanakan setiap perintah tanpa ada bantahan. Just do it. – hal. 103
Menurutku
akan lebih baik jika kata-kata atau celetukan dalam bahasa Inggris tersebut
dihilangkan karena terkesan kurang tepat dan hanya sekedarnya saja. Kecuali,
jika memang di dalam novel ini ada tokoh yang suka berbicara dalam bahasa
Ingrris atau mungkin baru pulang, katakanlah, dari luar negeri. Jadi tidak ada
logika pembaca yang terganggu. Di satu sisi ada tradisi Jawa yang kental
diangkat, namun di sisi lain celetukan kata berbahasa Inggris itu tiba-tiba
muncul.
Ya, memang,
novel ini membawa mistis ke dalam nuansa modernitas. Namun menurutku modernitas
tersebut sudah cukup tergambar dari kehidupan perkuliahan para tokohnya serta
ketertarikan seksual yang menyimpang yang berani dipaparkan dalam jalinan
cerita di novel ini. Jadi, sebaiknya tidak perlu ada celetukan-celetukan yang
seperti kuceritakan di atas tadi. Itu menurut aku, lho, ya. Agak kurang pas
saja rasanya, hehe.
Okelah, secara
ringkasnya, isi novel ini tergambar dalam komentar Fahruk HT (seorang kritikus
sastra): “Aura
mistisnya kuat, didukung penuturan yang puitis. Tapi mistis di sini bukan dunia
antah berantah, melainkan kehidupan remaja kontemporer dan akademis. Potret
masyarakat postmodern di mana perilaku lesbian bercampur dengan kekuatan ‘dunia
lain’.”
Ya, Rumah
Maya memang sebuah novel yang cukup menarik untuk dilahap dalam suasana santai.
Konflik yang ada cukup kompleks dan kaya akan budaya. Walaupun ada beberapa hal
yang terasa berlebihan dan agak sedikit lari-lari serta mungkin penulisan dan
penggunaan tanda baca yang salah. Namun setidaknya kisah di novel ini cukup
membuat greget dan tidak norak seperti kebanyakan kisah film-film horror yang
tempo hari pernah merajai bioskop tanah air. Interested?
Hai Rizki, terima kasih sudah mau membaca dan membedah novel ini, setelah sekian lama saya bercerai dengan dunia tulis menulis, siang ini tiba2 tergelitik untuk membuka google dan iseng menuliskan tan swat san. Sekali lagi terima kasih bedahannya, moga bisa jd pemacu untuk saya bisa rujuk lagi. Tuhan memberkati.
ReplyDeleteHallo kak. Apakah kakak penulis Rumah Maya? Atau sama-sama pernah membaca buku ini? Alhamdulillah kalau tulisan ini bisa memberikan efek positif. Kalau ingin membaca lebih banyak ulasan, silakan mampir ke blog saya yg satunya ya kak: bukulova.blogspot.com. Terimakasih sudah mampir kemari dan membaca postingan ini :)
DeleteSaya penulisnya, irene eko dani kurniawati (tan swat san)
DeleteOalah. Salam kenal kak Irene. Gak nyangka di komen langsung sama penulisnya. :D
Delete