Teror Sesudah Badai

Nadia, adik kecilku yang berusia 7 tahun itu membangunkanku. Rupanya aku tadi tertidur di depan tivi. Tak lama ku dengar Ibu berteriak kalau makan malam sudah siap. Aku beringsut ke ruang makan. Agar kantuk yang tersisa ini hilang, aku membasuh muka sebentar di westafel kecil di pojok ruangan. Sembari mengumpulkan nyawa dan mengeringkan wajah, aku melihat ke luar rumah kami lewat jendela kecil di samping westafel ini. Jendela kecil ini menghadap ke arah laut.

Hujan sisa badai sedari pagi tadi masih turun, meskipun hanya tinggal rintik gerimis. Sudah pukul setengah delapan dan hari semakin gelap. Saat kilat menghiasi langit, samar-samar ku melihat sesuatu yang besar dan menjulang kokoh, sedikit terombang-ambing oleh ombak. Sesuatu itu terlihat seperti kapal. Ya, kapal besar yang terdampar di tepi pantai, di pulau kecil yang kami tinggali ini. Kilat datang lagi dan jantungku berdegub kencang saat samar-samar ku melihat sesuatu bergerombol menuruni dinding kapal. Dari jendela itu, mereka tampak seperti barisan semut berekor yang bergerak dengan cepat.

Aku berlari panik ke meja makan dan menceritakan apa yang ku lihat kepada Ayah, Ibu, dan Nadia yang telah mengelilingi meja makan. Ayah bangkit memeriksa jendela. Kapal terdampar memang tidak mengherankan. Ayah melihat kapal tersebut namun mata rabunnya tidak melihat barisan semut itu. Ibu menenangkanku sambil tersenyum geli. Dia berpikir kalau aku masih belum sepenuhnya bangun dari tidur. Saat Ayah kembali ke meja makan, dia lantas memintaku untuk duduk. Makan malam ini harus segera di mulai.

Selesai makan malam, kami berkumpul di ruang tivi. Semua terasa baik-baik saja dan ku yakin jika semut berekor yang kulihat sebelum makan malam tadi hanyalah khayalanku saja. Tetapi tak lama kami tersentak dengan teriakan ngeri kucing liar di luar rumah. Buru-buru kami ke ruang depan dan Ayah membuka pintu. Ibu yang berdiri di samping Ayah tetiba berteriak pula. Aku dan Nadia tidak bisa melihat keluar karena pandangan kami tertutupi oleh kaki-kaki mereka. Ayah terlihat begitu panik dan segera menutup pintu. Ibu memintaku lari dan bersembunyi.

Aku bersembunyi di lemari pakaian. Aku bersama Nadia. Sementara ayah dan ibu berada tak jauh dari kami. Tetapi kami tak melihat keduanya. Kami hanya mendengar suara-suara mereka saling berteriak. Lalu suara itu menghilang. Tak terdengar lagi. Suara mereka digantikan oleh suara cicitan yang ramai sekali. Kami berdua begitu ketakutan dan aku kembali teringat dengan gerombolan semut berekor yang tadi ramai menuruni kapal. Kami saling berangkulan dan semakin berangkulan dalam diam saat papan-papan kayu di rumah kami semakin berderit-derit.

gambar diambil dari sini

400 kata dan sedikit terinspirasi dari kisah kapal pesiar Rusia Lyubov Orlova.

Comments

  1. monster yah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Monsternya berwujud tikus-tikus kanibal yang kelaparan bang..

      Delete
  2. Wah baca kisah ini, jadi ingat dengan misteri kapal tanpa awak yang mengapung ditengah laut yang isinya tikus-tikus kelaparan. entah sekarang kapal itu dimana. ia dipercaya mengapung disamudra.

    Kunjungan perdana mbak, salam kenal ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup bener banget. kapal itu namanya Lyubuv Orlova. Sedikit terinspirasi dari situ. Terimakasih kunjungannya. :)

      Delete
  3. agak horor juga ya :)

    ReplyDelete
  4. Bagus idenya. Tapi mmmm... too telling. Coba suasanya digambarkan lebih dengan dialog deh. :-| Mungkin "thriller"nya akan lebih terasa.

    Btw, jangan pake kata tetiba. Jadi ilfil hahahaha... Ga baku juga soalnya :D

    Keep writing :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku malah nggak baca semuanya, begitu liat dua paragraf atas cuma telling doang. Dan ternyata sampe bawah pun telling semua. -___-

      Delete
    2. Ohh gitu. Jadi yang seperti ini namanya Telling ya. Haha..oke lah Mom Carra & Mom Isti. Maklumi ya. :D Makasih buat semua masukannya. Noted :D

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tidaakk!!

Apa yang bisa dilakukan di Hago Farm

Pohon Sukun Meranggas